tag:blogger.com,1999:blog-85454474678056075012024-03-08T08:43:19.665-08:00TUGAS PBSI FKIP UNSUR CIANJURmau cerdas makanya bacaPBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-10349159229310851202012-01-02T22:36:00.000-08:002012-01-02T22:36:20.475-08:00PENGAJARAN WACANA<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
PENDAHULUAN<br />
Interaksi pembelajaran bahasa Indonesia menciptakan suatu tindak turur
antara siswa dengan guru atau sebaliknya. Tindak tutur tersebut perlu
dicermati agar tujuan dan ketercapaian pembelajaran dapat diukur atau
dilaksanakan dengan baik. Interaksi yang baik ketika tindak tutur antara
penutur dan petutur dapat saling memahami, namun pada kenyataannya
interaksi tersebut masih didominasi oleh guru bahkan belum bisa dipahami
dengan baik oleh mitra tuturnya. Guru lebih dominan yang berbicara
dalam pembelajaran, sedangkan siswa jarang diberikesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya apalagi bisa berinteraksi dengan baik. Kondisi
demikian akan berpengaruh terhadap tindak tutur yang mereka lakukan
serta akan tercermin dalam kemampuan memahami bahasa lisan. Selaian itu,
dalam setiap tindak tutur yang mereka lakukan sangat tergantung dengan
situasi lisan saat itu serta yang tidak kalah pentingnya berdasarkan
kompetensi dasar yang telah guru rancang dalam setiap pembelajaran.<br />
Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu
ujaran guru disadari atau tidak akan menjadikan pembelajaran bagi anak.
Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan kepada
anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian
akan menciptakan reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas
belajar, tidak berani bertanya, tidak mau melakukan perintah gurunya,
bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya
anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi.
Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan
oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.<br />
Pembelajaran bahasa yang kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat
ini salah satu permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh
guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang menarik. Misalnya
kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap
dan keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam
penerapannya masih belum terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai
cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa sekaligus pengembang
dan pembina bahasa Indonesia kurang baik maka secara otomatis akan
sulit menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula.<br />
Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang
dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi
antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di
dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah
bersifat absolute; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu
mengacu kepada tanda-tanda yang yang terdapat dalam kehidupan manusia
yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks
budaya dan keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002).
Oleh karena itu, analsis wacana merupakan upaya mengkaji rekaman
kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu
mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan.<br />
Brown dan Yule (1996: 1-4) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria.
Pertama adalah berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana
dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana transaksional dan wacana
interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk
mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar,
sedangkan wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan
sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog
dan polilog. Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas
antara siswa dan guru, guru dengan siswa atau anatara siswa dengan
siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional lebih
menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi.<br />
Pada dasarnya analisis wacana ingin menganalisis atau
menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara atau penulis dengan cara
merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga
diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu
dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan
dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk
menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan
analogi.<br />
Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan,
analisis itu dapat dilakukan pada tingkat tataran, yaitu (1) tataran
struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran
organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa
membedakan pola gramatikal, pola kalimat semantis, dan pola kalimat
komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti
yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi
pada kalimat komunikatif, yang bisa diorientasikan pada istilah
pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Van Dijk (dalam
Suparno, 1991: 19) manyatakan bahwa informasi pragmatis terdiri atas
tiga komponen, yaitu (1) informasi lama yang berhubungan dengan dunia,
yang juga informasi umum (general information), (2) informasi
situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari
pemahaman atau pengalaman partisipan dalam situasi tempat terjadinya
interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information) yaitu
informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa
komunikasi.<br />
Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas
dianalisis merupakan bahan yang menarik bagi penganalisis wacana. Hal
ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga
dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu
pendengar atau penganalisis dalam menginterpretasi, memberi makna, dan
menemukan hubungan antarpernyataan tersebut.<br />
Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara
atau penulis. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa
yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut.
Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah referensi
(reference) dan infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan
implikatur (implicature), konteks situasi (the contex of situation) dan
ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema,
pronomina serta interpretasi lokal (local interpretation).<br />
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam
kajian analisis wacana secara langsung ataupun tidak semua aspek
tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu,
untuk melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau
sebaliknya maka dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada
kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia
pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam
bentuk transkripsi. Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis
menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan implikatur
guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.<br />
Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk
mendeskripsikan keterakitan antara praanggapan guru dengan implikatur
siswa dan menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan guru dan siswa
pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan
puisi. Kemudian dilanjutkan dengan menginterpretasi, merekontruksi, dan
memberi makna pada wacana tersebut.<br />
Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa
yang melibatkan baik kajian tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin,
2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat dan masalah
komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (M.
Stubbs, 1983; dalam Yasin, 2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara
garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis. Wacara lisan
berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis
menampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana
menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah
unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat
hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari
wacana apabila dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan
interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas di sini
adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu
ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses
komunikasi.<br />
Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan
batas-batasnya berdasarkan anggapan berbicara mengenai apa yang
kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon, 1979;
dalm Brown dan Yule, 1996: 28-29). Senada dengan itu praanggapan apa
yang dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta
percakapan (Stalnaker, 1978; dalam Brown dan Yule, 1996: 29). Dalam hal
ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa
atau sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi
dapat berlangsung sehingga diperlukan juga implikatur di dalam suatu
percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian bahwa
praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap penutur sebagai dasar
berpijak untuk menuturkan suatu kalimat dalam ujaran.<br />
Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep
dasar, yaitu kewajaran (apropresteness atau felicity) dan pengetahuan
bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join assumtion)
(Lawrensen, 1983 dalam Lubis, 1991: 61). Oleh sebab itu, tuturan guru
hendaklah dapat diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan
guru.<br />
Istilah “implikatur” dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa
yang mungkin diartikan, disamakan atau dimaksudkan oleh penutur, yang
berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yule,
1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat
ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian
arti literal yang turut mendukung artinya sebenarnya dari sebuah
kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam
hal ini analogi lokal sangat berperan penting, situasi, dan kondisinya.<br />
Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu
implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur
konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.
Sedangkan implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum
percakapan ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi oleh penutur.
Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu
konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti),
kualitas (kerja sama dalam bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja
sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada
interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak
langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yule, 1996:
30). Dalam banyak hal, implikatur itu harus tidak dinyatakan karena
sudah menjadi pengetahuan umum.<br />
Menurut Levenson (dalam Lubis, 1991: 70) ada empat macam faedah konsep
implikatur itu, yaitu (1) dapat memberikan penjelasan makna atau
fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2)
dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang
dari yang dimaksud si pamakai bahasa, (3) dapat memberikan pemerian
sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan
kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang
secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti
metafora). Hal tersebut telah dibuktikan juga oleh H.P. Grice tahun
1967 yang menyatakan bahwa implikatur percakapan untuk menanggulangi
persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik
biasa. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan
yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang
diimplikasikan (Nababan, 1989: 28).</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
METODOLOGI<br />
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan content analysis dengan tidak mengabaikan konteks dalam
dialog. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis
dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif dengan
pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan
pesan-pesan/maksud yang terkandung pada setiap ujaran berdasarkan
hubungan kerja samanya pada setiap ujaran yangdikemukakan baik oleh guru
maupun siswa. Hal tersebut untuk memberi makna pada pesan yang
terkandung di dalamnya terutama praanggapan dan implikatur setiap
ujaran dengan menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis,
1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari tulisan ini adalah turan siswa
dengan guru dari dua belas kegiatan pembelajaran pada saat pembelajaran
bahasa Indonesia telah ditranskripsikan oleh Suryanti (2009), Maria
(2000), dan Subekti (2006). Kemudian data dianalisis dengan teknik
meyeleksi tindak tutur guru dengan siswa tersebut untuk layak dianalisis
berdasarkan transkipsi rekaman yang sudah ada, menginventarisasikan dan
mengklasifikasikan, menabuliasikan, dan merumuskan kesimpulan (Irawan,
1999:85).</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
PEMBAHASAN<br />
Tindak tutur pembelajaran dianalisis berdasarkan kompetensi dasar yang
telah ditranskripsikan, baik pada pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA.
Adapun kompetensi yang dikaji, yaitu mendengarkan puisi dan cerita
rakyat, menulis berbagai karya sastra, mendiskusikan masalah, membaca
puisi, memahami pantun, menentukan kalimat utama, membaca puisi,
menemukan pokok isi bacaan, menggunakan huruf kapital, membandingkan isi
teks, menggunakan kata ulang, dan membaca cerita rakyat. Berdasarkan
kompetensi dasar inilah akan dianalisis tidak tutur yang guru dan siswa
lakuakan karena suatu tindak tutur yang dihasilkan sangat tergantung
kepada kompetensi atau tujuan pembelajaran.<br />
Untuk memudahkan dalam penganalisisan baik itu menginterpretasikan,
memberikan makna, melihat keterkaitan antar ujaran praanggapan dan
implikatur dalam dialog yang dikemukakan guru dengan siswa, penulis
membagi ke dalam tiga bagian besar kelompok isi wacana lisan antara lain
bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembagian ini sesuai dengan kegiatan
pembelajaran di kelas.<br />
1. Pembuka<br />
Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk
menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar
terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari (Saadie, 2007:3.46). Kegiatan
membuka pelajaran tersebut tidak hanya dilakukan pada awal jam
pelajaran, melainkan juga pada awal setiap penggal kegiatan dari inti
kegiatan yang diberikan selama jam pelajaran itu berlangsung. Untuk
menciptakan suasana siap mental siswa terhadap hal-hal yang dipelajari,
guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti memberikan acuan dan apersepsi
(membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru
yang akan dipelajari).<br />
Apabila guru sudah melaksanakan membuka pelajaran dengan baik, siswa
akan siap secara mental karena guru telah memberikan atau menjelaskan
tujuan pembelajaran, masalah-masalah pokok yang harus diperhatikan,
langkah-langkah kegiatan belajar yang akan dilakukan, dan batas-batas
tugas yang harus dikerjakan untuk mengusasi pelajaran tersebut. Selian
itu, untuk menumbukan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang
dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa
ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan variasi
mengajar (termasuk di dalamnya variasi gaya mengajar, gerak dan mimik,
variasi media dan alat pembelajaran, serta variasi pola interaksi).
Siswa yang telah termotivasi dan penuh perhatian, akan melaksanakan
tugas dengan penuh gairah, semangat yang tinggi, serta cepat bereaksi
terhadap pertanyaan-pertanyaan guru.<br />
Adapun komponen-komponen membuka pelajaran yang harus dikuasai guru,
yaitu menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberikan acuan,
dan membuat kaitan (Saadie, 2007:3.49 s.d. 3.53). Menarik perhatian
siswa dapat dilakukan dengan gaya mengajar, seperti gerak atau posisi
guru, kontak pandang atau suara guru, dan penggunaan pause atau kementar
yang jelas; penggunaan berbagai media, seperti gambar disertai model
atau benda yang sebenarnya; perubahan pola interaksi guru, seperti guru
bertanya siswa menjawab atau sebaliknya atau siswa diskusi dalam
kelompok kecil. Menimbulkan motivasi dapat dilakukan dengan kehangatan
dan penerimaan guru, seperti semangat, antusias, dan bersahabat;
menimbulkan rasa ingin tahu, seperti bercerita dalam bentuk teka-teki;
mengemukakan konsep bertentangan, seperti mengemukakan suatu masalah;
memperhatikan minat siswa, seperti menyesuaikan pokok pelajaran dengan
tingkat perkembangan;karakteristik anak. Memberikan acuan dapat
dilakukan dengan komentar pada awal pelajaran, seperti menghubungkan
sedikit materi yang lalu; menentapkan tujuan untuk tugas tertentu,
seperti memberikan gambaran ruang lingkup materi; menyarankan
langkah-langkah yang akan dilakukan, seperti penjelasan cara kerja
sebelum praktik; mengajukan pertanyaan, seperti mennanyakan seusatu apa
yang dilihat atau diamati. Membuat kaitan dapat dilakukan dengan
menghubungkan aspek yang relevan, seperti meninjau kembali;
membandingkan pengetahuan baru dengan yang sudah; menyajikan konsep.<br />
Berbagai variasi guru dalam memulai pembelajaran. Hal tersebut kadang
kala disesuaikan dengan aturan yang berlaku di sekolah, seperti pada
pembuka pelajaran berikut ini. Saat guru measuki kelas, semua siswa
sudah dalam keadaan berdiri untuk menghormati dan memberi salam kepada
guru atas instruksi dari ketua kelas. Kemudian guru memriksa
masing-masing siswa mengenai kerapian dan kebersihan pakaian dan kelas.
Setelah guru sudah memeriksa satu persatu, guru akhirnya berpraanggapan
dengan tuturan G: Ketua kelas siapkan! Tanpa menjawab ya atau tidak atau
baik, Bu, ketua kelas langsung mengomandoi teman-teman dengan
implikaturnya S: Beri salam kepada Ibu guru. Itu mengimplikasikan bahwa
kondisi kelas sudah baik dan siap untuk menerima materi pembelajaran
oleh guru sehingga siswa yang lain mengucapkan salam dan guru pun
menjawab salam. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antara
siswa dan guru dalam prinsip kerja sama mengacu pada maksim relevansi.<br />
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Seperti yang
dilakukan oleh guru dan siswa tersebut. Hal itu juga terlihat pada
tuturan berikut. G: Ketua kelas sepidolnya mana? Saat itu guru mengecek
kesiapan siswa sebelum memulai pelajaran, tetapi sudah mencari-cari
sepidol di laci meja dan di tempat kotak sepidol, guru tidak menemukan
sepidol sehingga guru bertanya kepada ketua kelas. Ketua kelas menjawab
S: Bu Meri belum datang Bu. Sebelum pembelajaran di mulai sebenarnya
ketua kelas sudah menyiapkan semua perlengkapan kelas, tetapi sepidol
masih belum bisa didapatkan karena ruang TU masih tutup atau dalam
artian staf/Bu Meri sampai pembelajaran dimulai belum juga datang.
Implikatur siswa walaupun sepidolnya diambil maka akan percuma atau
tidak bisa didapatkan. Guru pun memahami hal itu sehingga guru
mengeluarkan sepidol yang ada di dalam tasnya.<br />
Saat guru membuka pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu
memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang
telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Dalam konteks
ini sebenarnya prinsip kerja sama pada maksim relevansi jarang terjadi,
tetapi hal tersebut masih ada tuturan siswa yang implikaturnya mengacu
pada maksim relevansi, seperti pada tuturan guru dengan siswa berikut.
G: Pada pelajaran yang lalu kita telah belajar tentang pantun. Anak-anak
sebagian ada yang sudah bisa membuat pantun? Sebelum kita belajar
anak-anak ini ada pantun. Coba Adi bacakan di depan kelas! Guru menyuruh
Adi membacakan di depan kelas karena praanggapan guru bahwa Adi sangat
mahir dalam membaca pantun sehingga guru menyuruh Adi untuk memberikan
model/contoh yang baik bagi teman-temannya. S: Saya masih batuk, Bu.
Implikatur Adi sebenarnya ingin membacakan pantun itu, tetapi karena
batuk sehingga suaranya agak terganggu. Membaca pantun bagi Adi
memerlukan suara yang baik agar enak didengar oleh teman-teman dan
gurunya. Guru sangat memahami implikaturnya Adi. Apalagi ketika Adi
menjawab pertannyaan darinya suara Adi memang agak serak.<br />
Prinsip kerja sama dalam praanggapan dan implikatur guru dan siswa lebih
dominan terjadi pada maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap
peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan bukti-bukti
yang memadai. Hal ini terjadai pada tuturan saat guru dan siswa
melakukan apersepsi dalam pembelajarannya, seperti pada tuturan berikut
ini.<br />
G: Kalau kata teman Anda, narasi itu cerita. Cerita yang bagaimana?<br />
S: Cerita yang memiliki tema, alur, tokoh, amanat, setting.<br />
G: Cerita ada setting, ada tokoh, ada amanat, ada apa lagi?<br />
Ditambah lagi apa?<br />
S: Alur<br />
G: Alur itu menceritakan berdasarkan apa?<br />
S: Berdasarkan urutan waktu.<br />
Guru mengajukan pertannyaan berturut-turut kepada siswanya itu
praanggapan guru bahwa guru ingin menggali informasi pemahaman siswa
terhadap materi yang sudah dipelajari agar dapat menghubungkan materi
yang akan dipelajari. Implikasinya bahwa siswa sangat memahami pelajaran
yang telah dipelajari sehingga siswa menjawab pertanyaan guru dengan
pemahaman yang sebenarnya. Setelah mengajukan pertanyaan, guru memngajak
siswa untuk melanjutkan materi pelajaran yang masih ada hubungan dengan
pelajaran sebelumnya, yaitu membaca wacana eksposisi.<br />
Guru dapat juga melakukan suatu tuturan yang dapat menarik perhatian
siswa. Tuturan ini lebih mengacu kepada prinsip kerja sama maksim cara.
Maksim cara di sini dimaksudkan guru menuturkan praanggapan berikut
dikarenakan suatu kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan retoris dalam
berbahasa. Hal tersebut mengmpliasikan bahwa keinginan guru agar siswa
tidak lagi ribut. Walaupun jawaban siswa sebenarnya hanya sekadar
penguatan semata karena tanpa ditanyapun sebenarnya guru sudah tahu
jawaban dari siswa tersebut, seperti pada tuturan berikut ini.<br />
G: Mau belajar enggak?<br />
S: Mau..(menjawab serentak)<br />
G: Kalau mau belajar, jangan ribut. Bagaimana mau belajar kalau ribut
terus itu…(membuka buku paket dan mencari materi pelajaran yang akan
diajarkan)<br />
2. Isi<br />
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai
KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi
proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.<br />
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari
informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan
dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan
belajar dari aneka sumber; guru menggunakan beragam pendekatan
pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain; guru
memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara
peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; guru
melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran; dan guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan
di laboratorium, studio, atau lapangan.<br />
Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam
tentang topik/tema materi yang akan atau sedang dipelajari dengan
menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka
sumber. Hal itu terlihat ketika guru menanyakan tentang gravitasi bumi
yang berhubungan dengan teks bacaan. Tindak tutur ini lebih menerapkan
prinsip kerja sama maksim kualitas. Kesesuaian jawaban tersebut terlihat
ketika siswa menjawab dan guru membenarkan dari jawabannya dalam bentuk
pengulangan di dalam pertanyaannya, seperti pada penggalan tuturan
berikut ini<br />
G: Ya, ada yang pernah baca gravitasi bumi? Ada yang tahu? Apa itu gravitasi bumi, Alita?<br />
S: Gaya tarik.<br />
G: Siapa bisa mencontohkan terjadinya gaya tarik bumi. Eko coba contohkan!<br />
S: Suatu benda jatuh.<br />
Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain. ; ………..<br />
Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara
peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
Selain itu guru juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap
kegiatan pembelajaran, seperti pada tuturan berikut.<br />
G: Kalau puisi karangan terikat, kalau prosa karangan bebas. Terikat bagaiman bingung ibu?<br />
S: Maksudnya kalau puisi itu ada aturan-aturannya misalnya bait.<br />
G: Ada baitnya.<br />
S: Terus maknanya ada tersirat.<br />
G: Kata-katanya bermakna konotasi, kalau prosa maknanya denotasi.<br />
Berdasarkan tuturan di atas dapat diimplikasikan bahwa guru dengan
aktifnya berusaha melibatkan siswa supaya terjadi interaksi secara
aktif. Hal itu terlihat ketika praanggapan guru seolah-olah bingung yang
menginginkan pembenaran dan jawaban dari siswa agar yang diinginkan
guru dalam pemahaman siswa menjadi benar adanya. Interaksi tuturan
tersebut menggunakan prinsip kerjasama kamsim kualitas. Kesesaian
jawaban menjadikan tuturan demi tuturan berjalan dengan baik.<br />
Dalam kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan
menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; guru
memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan
lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun
tertulis; guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis,
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; guru
memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can
kolaboratif; guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat
untuk meningkatkan prestasi belajar; guru memfasilitasi peserta didik
membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis,
secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik
untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok; guru
memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta
produk yang dihasilkan; guru memfasilitasi peserta didik melakukan
kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta
didik.<br />
Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui
tugas-tugas tertentu yang bermakna, seperti pada tuturan dialog berikut.
Walaupun teks bacaan sudah dibacakan oleh siswa yang lain, guru masih
mencoba membiasakan agar siswa yang lain dapat membacanya kembali.
Secara lisan, guru menginginkan apa yang dibaca bisa dipahami dengan
baik dan membacanya juga dengan suar yang nyaring. Hal itu tidak saja
paham secara individu, tapi paham juga bagi teman yang lain selain
melatih artikulasi anak dalam membaca nyaring.<br />
G: Tadi kaliansudah membaca semua, tapi ada yang belum mendengar karena
suaranya kurang keras atau kurang lantang. Sekarang kita ulangi sekali
lagi. Bapak mulai dari kelompok empat silahkan!<br />
S: (siswa membaca bergantian hingga selesai)<br />
G: Jadi, dari bacaan itu tentu kamu dapat mengetahui apa tujuan daripada
kisah si Badi tadi. Tentu setelah kamu baca berulang-ulang kamu dapat
memahami hal-hal tersirat dalam hati kita tentang si Bandi tadi. Mengapa
si Bandi tadi menurut kamu? (memandang seluruh siswa) Apa anak pintar,
apa anak durhaka?<br />
S: Anak durhaka (menjawab serentak)<br />
Tuturan di atas berdasarkan prinsip kerja sama menggunakan maksim
kualitas. Artinya adanya kesesuaian apa yang diinginkan dengan penutur
dengan petutur. Keseuaian tersebut terlihat dari jawaban siswa secara
serentak. Selain itu, apa yang diinginkan oleh penutur dapat dipahami
dengan baik oleh siswa. Hal itu juga terlihat bahwa guru memfasilitasi
peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi dalam kelompok untuk
memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.<br />
Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan
masalah, dan bertindak tanpa rasa takut. Di sini siswa memberikan
pemecahan suatu masalah dalam pendapatnya. Guru menyiasati siswanya agar
rasa takut itu dapat diatasi oleh mereka maka guru membentuk diskusi
dalam bentuk debat sehingga apa yang dikemukakan oleh siswa dapat
membangun suatu opini yang alami dari teman-temannya. Dalam kelompok itu
siswa bekerja sama dalam membahas dan menyelesaikan suatu permasalahan
sehingga apa yang diputuskan/dihasilkan menjadi suatu kesepakatan
bersama. Itu artinya bahwa guru juga memfasilitasi siswa dalam
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Jika dilihat berdasarkan dialog
berikut, tuturan berikut ini lebih mengacuk pada prinsip kerja sama
dengan maksim kualitas karena jawaban dari siswa dalam memecahkan suatu
masalah sudah didukung dengan bukti-bukti yang kuat.<br />
G: Ya, kita anggap di sini adalah sebuah kerajaan. Di sini ada anak
dalangnya. Silahkan! Silahkan, Nak! Mau pro pada Mohammad Yofanza atau
pro kepada kepala suku.<br />
S: Kalau masalah kebersihan tidak mungkin bisa menimbulkan penyakit.
Lain seperti malaria, demam berdarah, penderita TBC. Kalau penyakit flu
burung itukan berasal dari hewan. Hewan itukan bernafas dengan
mengeluarkan virus. Virus yang mereka keluarkan kepada orang lain
sehingga orang tersebut terkena virus tersebut. Jadinya saya tidak
setuju dengan pendapat Mohammad Yofanza yang mengatakan baahwa virus flu
burung itu berasal dari kebersihan karena virus flu burung itu menyebar
melalui udara, Bu.<br />
Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk
meningkatkan prestasi belajar. Bekompetensi secara sehat di sini bahwa
guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan kemampuannya baik
secara lisan maupun tulis. Secara lisan misalnya siswa tampil di depan
kelas untuk membacakan puisi. Siswa yang lain diberi kesempatan untuk
memberikan penilaian pada teman yang tampil. Sebaliknya yang menilai
tadi akan tampil juga untuk dinilai. Selian itu, dapat dikatakan bahwa
guru telah memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang
dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja
individual maupun kelompok. Itu artinya, penialaian dari mereka untuk
mereka akan memberikan perbaikan pembelajaran yang baik sehingga siswa
bekompetensi dengan temannya sendiri secara sehat dan wajar, seperti
pada tuturan berikut ini.<br />
G: Diana, Erin mana?<br />
S: Saya Bu.<br />
G: Ya, Erin.<br />
S: (siswa membacakan puisi di depan kelas)<br />
S: (menyimak dengan saksama)<br />
S: (selesai membacakan puisinya)<br />
S: (bertepuk tangan)<br />
S: Terlalu monoton.<br />
G: Suaranya keras lagi, Van.<br />
S: Terlalu monoton, Mimik wajahnya seperti itu-itu terus, Nilainya<br />
7,5.<br />
Tuturan di atas implikaturnya bahwa yang diinginkan oleh guru dari
siswanya dapat memberikan suatu penampilan puisi yang baik. Tuturan yang
dikemukakan oleh guru dalam menanyakan siswanya menunjukkan bahwa
gurunya ingin informasi yang jelas dan mendukung shingga apa yang
diharapkan memang demikian adanya. Beigitu juga pada komentar terhadap
penempilan siswa lainnya dalam membacakan puisi. Jawaban siswa tersebut
sangat diharapkan oleh gurunya dapat memberikan data yang kuat terhadap
penampilan temannya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan itu
menggunakan maksim kuantitas.<br />
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival,
serta produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan di sini maksudnya
adalah puisi yang telah dibuat oleh siswa kemudian diberikan kesempatan
untuk membacakannya di depan kelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam
dialog berikut.<br />
G: Sekarang kita lihat dulu Vina. Nuri kamu beri penilaian untuk Vina
(Vina selesai membaca puisi di depan kelas. Guru dan seluruh siswa
bertepuk tangan)<br />
G: Nuri berikan komentar.<br />
S: Ehm…Vina masih terpaku pada teks. Matanya masih terfokus pada teks.<br />
G: Jadi kontak dengan penonton kurang? Ya, terus.<br />
S: Cara membacanya terlalu cepat. Jedahnya, Bu.<br />
Kesesuaian tuturan dari dialog di atas dapat dilihat ketika praanggapan
dari impilkatur siswa diulang kembali oleh guru. Kata ya, terus
membuktikan bahwa jawaban yang telah dikemukakan sebelumnya memang
demikian adanya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan di atas mengacu
pada maksim kualitas. Alasan lain selain itu adalah bahasa yang
digunakan oleh guru secara lugas sehingga dapat dipahami dengan baik
oleh siswa.<br />
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan
kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Tuturan yang bisa
dilakukan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa seperti pada
turan berikut ini.<br />
G: Ya, bagus. Siapa lagi yang mau mencoba? Jangan takut, siapa yang mau
mencoba majulah ke depan ini. Pelangi kan bisa. Kalau Pelangi bisa,
kalian harus bisa.<br />
S: (Siswa yang lain maju)<br />
G: Ya, bagus Rani. Tepuk tangan. Siapa lagi?<br />
Tuturan yang dikemukakan guru sangat bijaksana dalam menumbuhkan rasa
percaya diri anak “Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa”. Itu artinya
siswa akan lebih tertantang untuk mencoba dan percaya diri pun lebih
kuat untuk mencoba. Praanggapan guru dengan kata-kata demikian akan
memberikan peluang besar bagi siswa yang lain untuk mencoba. Begitu juga
sebaliknya, siswa dalam implikaturnya akan merasa lebih mudah dalam
mengerjakan latihan tersebut. Ini terbukti setelah siswa mengerjakan
tugasnya baru ada pembenaran dsari guru terhadap apa yang telah
dikerjakannya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kerja sama pada maksim
kualitas.<br />
Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan
penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap
keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil
eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, guru
memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan, guru memfasilitasi peserta
didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai
kompetensi dasar: berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam
menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan
menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah;
memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil
eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan
motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi
aktif.<br />
Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
seperti pada tuturan berikut. Guru memberikan penguatan secara verbal
maupun nonverbal. Hal itu bukan saja dilakukan oleh guru, melainkan
siswa yang lain ikut berpartisipasi aktif terhadap keberhasilan
teman-temannya.<br />
G: Ya, bagus! Tepuk tangan!<br />
S: (bertepuk tangan)<br />
G: Sekarang siapa lagi yang berani. Coba yang laki-laki. Ayo siapa bisa! Megi bisa?<br />
S: (Megi maju ke depan membacakan pantun)<br />
G: Ya, bagus. Tepuk tangan lagi!<br />
S: (bertepuk tangan)<br />
Penguatan tersebut berdasarkan prinsip kerja sama termasuk maksim
kualitas. Walaupun tidak dijawab secara langsung atau lisan melainkan
sebgian ada dalam bentuk tepukan dan sebagian lagi dalam bentuk ujaran,
penguatan tersebut sudah ada kerja sama dengan baik dalam kesamaan
pemahaman antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan siswa.<br />
Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi
peserta didik melalui berbagai sumber. Eksplorasi tersebut berupa
kalimat yang digunakan guru lebih kontektual atau ada di lingkungan
siswa sendiri. Seperti pada tuturan berikut bahwa guru memberikan
konfirmasi kepada siswa terhadap jawaban yang telah mereka kemukakan
sendiri. Jawaban dari tuturan siswa memberikan kontribusi yang cukup
yang dibutuhkan guru. Kata Satu antaranya ingat! Utuh yang dituturkan
oleh guru membuktikan bahwa informasi yang dibutuhkannya sudah cukup
sehingga guru melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.Hal tersebut terlihat
bahawa guru menggali informasi terhadap pertanyaan yang dikemukakan.
Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan berikut mengacu pada maksim
kuantitas.<br />
G: Sekarang coba coba perhatikan. Di ruang kelasku, banyak<br />
terdapat jendela-jendela yang terbuka. Jendela-jendela itu kata<br />
apa itu?<br />
S: Kata ulang (serentak)<br />
G: Kata ulang, kata ulang itu ada berapa macam?<br />
S: Ada empat.<br />
G: Empat? Yakin empat? Empat atau lima?<br />
S: Empat (serempak).<br />
G: Siapa yang lima? Empat atau tiga?<br />
S: Empat (serempak).<br />
G: Empat atau lima?<br />
S: empat (serempak)<br />
G: Kita buktikan sekarang. Sekarang tidak usah saling curiga,<br />
saling suara nanti kalian bingung. Kalau utuh bagaimana?<br />
S: Tidak berubah (serempak).<br />
G: Kalau jendela-jendela di kelasku banyak terbuka. Itu jenis kata<br />
ulang apa?<br />
S: Utuh (serempak).<br />
G: Sekarang yang kedua. Satu antaranya ingat! Utuh. Yang kedua<br />
tidak ada yang menulis. Kalau mobil-mobilan?<br />
S: Berimbuhan (serempak)<br />
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan. Refleksi di sini diberikan oleh
guru dalam mendukung dalam memperkuat argumen siswa. Argumen siswa
tersebut dapat meyakinkan guru bahwa yang terjadi memang benar adanya,
seperti pada tuturan berikut.<br />
G: Oh…begitu.<br />
S: Melalui foto mesra itu akan nampak biar orang tahukan. Wah… ini pasangan yang setia, mesra, dan serasi.<br />
S: Huuuu…(sebagian siswa bertepuk tangan)<br />
G: O..ya bagus sekali. Silahkan dari kubu yang tidak setuju.<br />
S: Ha…ha..ha…(tertawa serempak)<br />
G: Ayo lagi yang mana Ki lawan Ki!<br />
S: Saya perwakilan dari kubu yang tidak setuju karena kan rata-rata yang
undangan yang ada foto mesra itukan, rata-rata kelas elite kan Bu.
Jadi, nampak nanti kesenjangan sosial kalau undangan yang bagus ada
foto-foto berartikan itu orang-orang kaya, sedangkan yang sederhana itu
kurang mampu.<br />
Tuturan guru dengan siswa di atas memperlihatkan hubungan kerja sama
dengan menggunakan maksim kualitas. Maksim ini memberikan praanggapan
dan implikatur adanya kesesuaian antara pertanyaan dengan jawaban. Di
sini guru menginginkan siswa menjawab dengan baik dan siswapun
menjawabnya sesuai apa yang diinginkan berdasarkan pertanyaan yang
diajukan oleh guru. Hak tersebut membuktikan bahwa guru dapat
memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna
dalam mencapai kompetensi dasar. Selain itu, guru juga berfungsi sebagai
narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang
menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat
melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk
bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang
kurang atau belum berpartisipasi aktif.<br />
3. Penutup<br />
Kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk
mengakhiri kegiatan inti pembelajaran (Saadie, 2007:3.47). Kegiatan
menutup pelajaran dimaksudkan untuk memberikan gambaran menyeluruh
tentang apa yang telah dipelajari siswa, serta mengetahui tingkat
pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses
pembelajaran. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru, antara lain
merangkum kembali atau meminta siswa membuat ringkasan dan mengadakan
evaluasi tentang materi pelajaran yang baru saja dibahas. Kegiatan
menutup pelajaran ini juga dilakukan guru tidak saja pada akhir
pelajaran, tetapi juga pada akhir setiap penggal kegiatan dari inti
pembelajaran yang diberikan selama jam pelajaran itu.<br />
Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan
mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan
bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah
dipelajari sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan
sebenarnya, seperti pada tuturan beikut ini.<br />
G: Ada lagi Nak selain tempo?<br />
S: Ekspresi, Bu.<br />
G: Ya, membaca puisi tidak bisa dikatakan berhasil jika kalian tidak
bisa mempengaruhi orang yang mendengar. Jangan ragu-ragu menampakkan
mimik muka kalian. Kalau sedih, tunjukkan sedih. Kalau gembira,
tunjukkan gembira. Kalau meremehkan, tunjukkan dengan meremehkan.
Seperti tadi kata Ade, Bu puisi ini saya ciptakan sebagai kritik
terhadap wanita. Jadi selamat berkarya dan sampai jumpa.<br />
Tuturan dalam bentuk pertanyaan mengimplikasikan bahwa guru menginginkan
penguatan dari siswa bahwa siswa telah memahami terhadap materi yang
telah dipelajari. Selain itu, guru berpraanggapan hal itu perlu
dikuatkan lagi dalam bentuk simpulan. Namun, berdasarkan tuturan yang
ditemui dari sembilan kegiatan pembelajaran, guru jarang menyimpulkan
dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan lebih
kepada penugasan. Kegiatan menutup ini lebih pada inti dari menutup
pelajaran, seperti pada tuturan berikut.<br />
G: Anak-anak waktu sudah habis.<br />
S: Sudah (sebagian)<br />
S: Belum, Bu (sebagian)<br />
G: Ya, yang belum selesai lanjutkan di rumah sekarang kumpulkan<br />
tugas puisi yang kemarin.<br />
G: Siapkan ketua!<br />
Berdasarkan prinsip kerja sama pada maksim kualitas memang guru dan
siswa sudah melakukan tuturan dengan sebenarnya, tetapi guru masih belum
memahami dalam kegiatan pembelajaran. Implikaturnya bahwa guru masih
kurang mampu mengajak siswa untuk menerapkan kegiatan pembelajaran
menutup yang baik. Menutup tidak sekadar tutup dan salam saja. Padahal,
menutup pelajaran dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang
pokok-pokok materi yang dipelajari dengan cara meninjau kembali dan
mengevaluasi (Saadie, 2007:3.53 s.d. 3.54). Meninjau kembali dapat
dilakukan dengan cara merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan,
sedangkan mengevaluasi dapat dilakukan dengan cara mendemonstrasikan
keterampilan, mengaplikasikan ide baru, mengekspresikan ide guru,
mengekspresikan ide baru, mengekspresikan pendapat, dan memberikan soal.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
PENUTUP<br />
Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa tidak semua peranggapan guru dan implikatur siswa
memiliki kesesuaian atau dalam arti hanya pada maksim kualitas,
melainkan ada juga maksim yang lain yaitu maksim kuantitas, maksim
hubungan, dan maksim cara. Ada beberapa gejala konsep pemahaman yang
guru dengan siswa perlihatkan ketika peristiwa tutur terjadi antara
lain: [a] Ada kesamaan pemahaman secara langsung atau eksplisit yang
diperlihatkan guru dan siswa sehingga praanggapan implikatur yang mereka
perlihatkan sesuai dalam hal ini menggunakan prinsip kerja sama maksim
kualitas. (b) ada kesamaan pemahaman secara tidak langsung atau
implisit, tetapi untuk sampai pada pengertian yang maksudkan, guru harus
menggali jawaban yang dimaksud siswa dengan memunculkan pertanyaan
baru. Kecenderungan hal ini prinsip kerjasama yang digunakan dengan
maksim kuantitas, dan cara. (c) tidak ada kesesuaian antara praanggapan
dan implikatur dalam arti lain yang ditanya, lain yang dijawab (maksim
relevansi atau hubungan).<br />
Praanggapan dan implikatur hanyalah salah satu bagian dari kajian
analisis wacana. Karena itu, pada kesempatan lain bagi penganalisis
wacana agar dapat melakukan peninjauan lebih jauh dan aspek lain dan
kompleks atau pada konteks wacana yang berbeda, baik itu mengenai
kontruksi tema – rema, referensi (Reference), dan infrensi (inference),
konteks situasi (the contec optituation) dan ko-teks (co-text),
tematisasi dan penahapan, pronomina dalam wacana, serta yang lainnya.
Dengan analisis yang lebih mendalam dan beragam diharapkan dapat
merepresentasikan isi wacana dalam rangka menemukan makna wacana lisan
yang bersangkutan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
DAFTAR PUSTAKA<br />
Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia.<br />
Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press.<br />
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset.<br />
Maria S., Rumi. 2000. “Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa
Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing Kotamadya Bengkulu”. Bengkulu: Skripsi
FKIP Unib.<br />
Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.<br />
Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan
Tinggi.<br />
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />
Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.<br />
Subekti, Susilo. 2006. “Pelaksanaan Pengelolaan Kelas dalam Pengajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas X SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran
2005/2006”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.<br />
Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya Malang. Jakarta: Depdikbud.<br />
Suryanti, Lilis. 2009.” Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.<br />
Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang.<br />
Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa
Asing. Makalah disampaikan pada pertemuan regional – Masyarakat
linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002.<br />
Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan
Pendidikan, Iptek, dan Sosial Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3,
Nomor 1, Juni 2002.</div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-6918496169323651692012-01-02T02:51:00.000-08:002012-01-02T02:51:12.331-08:00ANALISIS NOVEL SENGSARA MEMBAWA NIKMAT<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<span style="color: blue; font-family: Times,"Times New Roman",serif; font-size: small;"></span><span style="font-family: "Bernard MT Condensed","serif"; font-size: 12pt;"><span style="color: blue; font-family: Times,"Times New Roman",serif; font-size: small;"><br />
Identitas Novel<br />
Judul : Sengsara Membawa Nikmat<br />
Pengarang : Tulis Sutan Sati<br />
Penerbit : Balai Pustaka<br />
Cetakan : 1929<br />
Tebal Buku : 192 Halaman</span><br />
<br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;">Analisis Instrinsik Novel Sengsara Membawa Nikmat<br />
<br />
Tema : Kesabaran seseorang dalam menerima penderitaan<br />
Tokoh dan Penokohan :</span><ol>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Midun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, taat pada agama, serta penyabar.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Tuanku Laras adalah seorang Kepala Kampung yang sangat kaya. Dia sangat ditakuti dan disegani dikampungnya.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Kacak adalah seorang pemuda yang mempunyai sifat dan tingkah laku kurang baik. Dia angkuh, kasar, serta suka berpoya-poya.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Haji Abbas adalah seorang penghulu dan guru ngaji serta guru silat.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Maun adalah seorang pemuda berbudi, sopan, serta taat kepada ajaran agama. Dia sahabat kental Midun.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">Halimah adalah seorang gadis yatim. Dia tinggal dengan ayah tirinya
yang kaya raya. Dia termasuk perempuan berbudi dan taat pada agama.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Pak Karto adalah seorang sipir penjara tempat Midun sewaktu dipenjara di Jakarta. Dia mempunyai hati yang baik.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Syekh Abdullah Al-Hadramut adalah saudagar kaya keturunan Arab. Hatinya kurang baik. Dia terkenal sebagai seorang rentenir.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Tuan Hoofdcommissaris adalah seorang kompeni dengan jabatan sebagai Kepala Komisaris. Dia mempunyai hati yang baik.</span></li>
<li><span style="font-size: 12pt;">
Manjau adalah pemuda baik-baik, adik kandung Midun. </span></li>
</ol>
<span style="font-size: 12pt;">
<br />
Alur : Maju<br />
Latar : Latar tempat<br />
a. Padang (Minangkabau)<br />
b. Bogor<br />
c. Jakarta <br />
<br />
<br />
Amanat : - Bersabarlah dalam menjalani kehidupan karena tak ada
kehidupan yang tanpa ujian atau cobaan, dan percayalah bahwa dibalik
cobaan dan ujian yang datang pasti ada hikmah yang tersembunyi.<br />
- Pandai-pandailah mengemudikan hawa nafsu. Hawa nafsu tak ada batasnya
dan hawa nafsu ini kerap kali menjerumuskan orang pada lembah
kesengsaraan.<br />
<br />
Sudut Pandang : Sudut pandang dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat yaitu sudut pandang serba tahu. <br />
Dalam tipe ini tentunya pengarang akan bertindak serba tahu. Pengarang
mengetahui serba watak, keadaan, sifat hidup, dan sebagainya darai semua
yang ada. Dari tingkah laku yang amat pribadi sampai kepada hal-hal
yang jelas kelihatan dari setiap tokoh. Dari pikiran yang terselubung
sampai kepada aktivitas konkret dapat diamati. Pendek kata, pengarang
benar-benar berperan sebagai seorang dalang yang menciptakan bahkan
menentukan segala yang ada. Pengarang tidak hanya tahu ciri-ciri lahir
maupun isi hati semua tokoh dalam cerita yang dikarangnya, tetapi juga
tahu tentang nasib yang akan dialami tokoh-tokoh itu.<br />
<br />
Gaya Penulisan : Dalam penulisan Novel Sengsara Membawa Nikmat pengarang
lebih banyak menggunakan bahasa melayu yang tidak lain yakni bahasa
yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br />
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><br />
<span> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Seorang
pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa
yang dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin
menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau
yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya
karena sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang
miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun
mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pintar
silat. Midun tidak sombong seperti Kacak</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span><span> </span>Karena
Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu iri dan dengki pada
Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan
untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering
mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau
menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk
berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena
dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil
belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan
mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.<br />
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa
arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu.
Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat
pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak
memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak
berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu.
Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi
semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras.
Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan
tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.<br />
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah
Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh
Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah
Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan
untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar.
Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga
segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga
Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.<br />
<span> </span><span> </span>Walaupun Midun telah mendapat
hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia
belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu.
Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau
Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam
penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung
itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk
selama-lamanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Untuk
melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh
bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu
mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda.
Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir
gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun
dengan sebelah Midun pisau.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Tapi
untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak
bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda
itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun
langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.<br />
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah
dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa
senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan
bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi
penghalangnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span>Selama
di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh
Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu.
Para tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu
hari ber¬hasil mengalahkan si jago Para tahanan.<br />
<span> </span><span> </span>Karena yang paling dianggap jago
oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun.
Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun
menjadi sahabat mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Suatu
hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang
wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika
gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di
bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si
gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama
Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu
adalah Halimah.<br />
<span> </span>Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling
bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup,
Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa
tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah.
Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang
waktu itu tinggal di Bogor.<br />
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya
itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang
baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.<br />
<span> </span>Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang
kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan
Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal
dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai
hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja.
Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya
keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan
tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk
itu.<br />
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.<br />
<span> </span><span> </span>Usahanya maju pesat. Melihat
kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk
Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah
yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak
bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah
gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan
cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal
Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya.
Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga
sangat marah pada Syehk.<br />
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun
diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan
bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.<br />
<span> </span><span> </span>Di hari Midun bebas itu, Midun
jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun
melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang
seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka
menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo
Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan
nyawanya itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Oleh
Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang tua Sinyo
itu. Orang tua Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang
dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya
pada Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun langsung
diberinya pekerjaan. Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.<br />
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.</span></div>
<span style="font-size: 12pt;"><span> </span><span> </span>Prestasi
kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat
menjadi Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia langsung ditu¬gaskan
menumpas para penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu
dengan adiknya, yaitu Manjau. Manjau bercerita banyak tentang kampung
halamannya. Midun begitu sedih rnendengar kabar keluarganya di kampung
yang hidup menderita. Oleh karena itu ketika dia pulang ke Jakarta,
Midun langsung minta ditugaskan di Kampung halamannya. Permintaan Midun
itu dipenuhi oleh pimpinannya.</span><br /><span style="font-size: 12pt;">
<span> </span><span> </span>Kepulangan Midun ke kampung
halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah
menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia
takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan
terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan
jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti
telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya
Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.</span><br /><span style="font-size: 12pt;">
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.</span>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-89888519023011627662011-12-31T14:18:00.001-08:002012-01-02T22:37:32.550-08:00PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-81007755479300892112011-12-31T14:16:00.000-08:002011-12-31T14:16:01.515-08:00PENGERTIAN ARTIKEL<div style="text-align: justify;"><b>Menulis Artikel dan Pengertiannya</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><ul><li><b>Menulis dan Mengarang</b></li>
</ul><div style="text-align: justify;"> Ada suatu pandangan tradisional yang menyebutkan bahwa menulis dan mengarang adalah dua kegiatan yang berbeda, meski sama-sama berkenaan dengan aspek kebahasaan. Kegiatan menulis sering diasosiasikan dengan ilmu yang sifatnya faktual, sedangkan kegiatan mengarang selalu diasosiasikan dengan karya sastra yang fiksional (Kamandobat 2007). Dengan kata lain, kegiatan menulis mutlak membutuhkan studi ilmiah, sedangkan kegiatan mengarang tidak.<br />
<br />
Pandangan tersebut tentu tidak benar. Kita tentu ingat novel "Da Vinci Code" yang menggemparkan. Lalu kita juga mungkin masih ingat "The Origin of Species" karya Charles Darwin. Keduanya berasal dari ranah yang berbeda, namun masing-masing disajikan dengan bahasa yang terkesan ilmiah dan literer.<br />
Akan tetapi, ada satu hal yang membedakan keduanya. Hal tersebut ialah dalam hal penekanannya. Meskipun sebuah karya tulis disajikan dengan bahasa literer, bila penekanannya menjurus ke bidang keilmuan -- termasuk ilmu sastra -- kita bisa mengelompokkannya ke dalam kegiatan menulis. Demikian sebaliknya, kegiatan menghasilkan karya tulis yang lebih bernuansa fiktif, meski terkesan faktual, bisa disebut sebagai kegiatan mengarang.<br />
<br />
<b>Menulis Artikel</b><br />
Ada sejumlah pengertian mengenai artikel. Berikut beberapa di antaranya.<br />
Artikel merupakan karya tulis lengkap, misal laporan berita atau esai di majalah, surat kabar, dan sebagainya (KBBI 2002: 66).<br />
Artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat dalam media massa, yang membahas isu tertentu, persoalan, atau kasus yang berkembang dalam masyarakat secara lugas (Tartono 2005: 84).<br />
Artikel merupakan:<br />
karya tulis atau karangan;<br />
karangan nonfiksi;<br />
karangan yang tak tentu panjangnya;<br />
karangan yang bertujuan untuk meyakinkan, mendidik, atau menghibur;<br />
sarana penyampaiannya adalah surat kabar, majalah, dan sebagainya;<br />
wujud karangan berupa berita atau "karkhas" (Pranata 2002: 120).</div><div style="text-align: justify;"><br />
MENULIS SECARA ILMIAH POPULER<br />
Pada dasarnya, ada beberapa jenis model penulisan artikel. Model-model tersebut bisa dikelompokkan kepada tingkat kerumitannya. Model yang paling mudah ialah model penulisan populer. Tulisan populer biasanya tulisan ringan yang tidak "njelimet" dan bersifat hiburan. Termasuklah di dalamnya gosip. Selain itu, bahasa yang digunakan juga cenderung bebas (perhatikan, misalnya, bahasa yang digunakan di majalah GetFresh!). Model yang paling sulit ialah penulisan ilmiah. Model ini mensyaratkan objektivitas dan kedalaman pembahasan, dukungan informasi yang relevan, dan biasa diharapkan menjelaskan "mengapa" atau "bagaimana" suatu perkara itu terjadi, tanpa pandang bulu dan eksak (Soeseno 1982: 2). Dari aspek bahasa, tentu saja tulisan ilmiah mensyaratkan bahasa yang baku.<br />
Meski demikian, ada satu model penulisan yang berada di tengah-tengahnya. Model tersebut dikenal dengan penulisan ilmiah populer dan merupakan perpaduan penulisan populer dan ilmiah. Istilah ini mengacu pada tulisan yang bersifat ilmiah, namun disajikan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti (Soeseno 1982: 1; Eneste 2005: 171). Model inilah yang digunakan dalam publikasi Yayasan Lembaga SABDA pada umumnya.<br />
<br />
<br />
JENIS-JENIS ARTIKEL<br />
Ada beberapa jenis artikel berdasarkan dari siapa yang menulis dan fungsi atau kepentingannya (Tartono 2005: 85-86). Berdasarkan penulisnya, ada artikel redaksi dan artikel umum. Artikel redaksi ialah tulisan yang digarap oleh redaksi di bawah tema tertentu yang menjadi isi penerbitan. Sedangkan artikel umum merupakan tulisan yang ditulis oleh umum (bukan redaksi).<br />
Sedangkan dari segi fungsi atau kepentingannya, ada artikel khusus dan artikel sponsor. Artikel khusus adalah nama lain dari artikel redaksi. Sedangkan artikel sponsor ialah artikel yang membahas atau memperkenalkan sesuatu.<br />
MULAI MENULIS ARTIKEL<br />
Menguji Gagasan<br />
Prinsip paling dasar dari melakukan kegiatan menulis ialah menentukan atau memastikan topik atau gagasan apa yang hendak dibahas. Ketika sudah menentukan gagasan tersebut, kita bisa melakukan sejumlah pengujian. Pengujian ini terdiri dari lima tahap sebagai berikut (Georgina dalam Pranata 2002: 124; band. Nadeak 1989: 44).<br />
Apakah gagasan itu penting bagi sejumlah besar orang?<br />
Dapatkah gagasan ini disempitkan sehingga memunyai fokus yang tajam?<br />
Apakah gagasan itu terikat waktu?<br />
Apakah gagasan itu segar dan memiliki pendekatan yang unik?<br />
Apakah gagasan Anda akan lolos dari saringan penerbit?<br />
Pola Penggarapan Artikel<br />
Ketika hendak menghadirkan artikel, kita tidak hanya diperhadapkan pada satu kemungkinan. Soeseno (1982: 16-17) memaparkan setidaknya lima pola yang bisa kita gunakan untuk menyajikan artikel tersebut. Berikut kelima pola yang dimaksudkan.<br />
Pola pemecahan topik<br />
Pola ini memecah topik yang masih berada dalam lingkup pembicaraan yang ditemakan menjadi subtopik atau bagian-bagian yang lebih kecil dan sempit kemudian menganalisa masing-masing.<br />
Pola masalah dan pemecahannya<br />
Pola ini lebih dahulu mengemukakan masalah (bisa lebih dari satu) yang masih berada dalam lingkup pokok bahasan yang ditemakan dengan jelas. Kemudian menganalisa pemecahan masalah yang dikemukakan oleh para ahli di bidang keilmuan yang bersangkutan.<br />
Pola kronologi<br />
Pola ini menggarap topik menurut urut-urutan peristiwa yang terjadi.<br />
Pola pendapat dan alasan pemikiran<br />
Pola ini baru dipakai bila penulis yang bersangkutan hendak mengemukakan pendapatnya sendiri tentang topik yang digarapnya, lalu menunjukkan alasan pemikiran yang mendorong ke arah pernyataan pendapat itu.<br />
Pola pembandingan<br />
Pola ini membandingkan dua aspek atau lebih dari suatu topik dan menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Inilah pola dasar yang paling sering dipakai untuk menyusun tulisan.<br />
Kelima pola penggarapan artikel di atas dapat dikombinasikan satu dengan yang lain sejauh dibutuhkan untuk menghadirkan sebuah tulisan yang kaya.<br />
<br />
<b>Menulis Bagian Pendahuluan</b><br />
Untuk bagian pendahuluan, setidaknya ada tujuh macam bentuk pendahuluan yang bisa digunakan (Soeseno 1982: 42). Salah satu dari ketujuh bentuk pendahuluan berikut ini dapat kita jadikan alternatif untuk mengawali penulisan artikel kita.<br />
<br />
selebihnya<br />
Ringkasan<br />
Pendahuluan berbentuk ringkasan ini nyata-nyata mengemukakan pokok isi tulisan secara garis besar.<br />
Pernyataan yang menonjol<br />
Terkadang disebut juga sebagai "pendahuluan kejutan", diikuti kalimat kekaguman untuk membuat pembaca terpesona.<br />
Pelukisan<br />
Pendahuluan yang melukiskan suatu fakta, kejadian, atau hal untuk menggugah pembaca karena mengajak mereka membayangkan bersama penulis apa-apa yang hendak disajikan dalam artikel itu nantinya.<br />
Anekdot<br />
Pembukaan jenis ini sering menawan karena memberi selingan kepada nonfiksi, seolah-olah menjadi fiksi.<br />
Pertanyaan<br />
Pendahuluan ini merangsang keingintahuan sehingga dianggap sebagai pendahuluan yang bagus.<br />
Kutipan orang lain<br />
Pendahuluan berupa kutipan seseorang dapat langsung menyentuh rasa pembaca, sekaligus membawanya ke pokok bahasan yang akan dikemukakan dalam artikel nanti.<br />
Amanat langsung<br />
Pendahuluan berbentuk amanat langsung kepada pembaca sudah tentu akan lebih akrab karena seolah-olah tertuju kepada perorangan.<br />
Meskipun merupakan pendahuluan, bagian ini tidaklah mutlak ditulis pertama kali. Mengingat tugasnya untuk memancing minat dan mengarahkan pembaca ke arah pembahasan, sering kali menulis bagian pendahuluan ini menjadi lebih sulit daipada menulis judul atau tubuh tulisan. Oleh karena itu, Soeseno (1982: 43) menyarankan agar menuliskan bagian lain terlebih dahulu.<br />
<br />
<b>Menulis Bagian Pembahasan atau Tubuh Utama</b><br />
Bagian ini disarankan dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Masing-masing dibatasi dengan subjudul-subjudul. Selain memberi kesempatan agar pembaca beristirahat sejenak, subjudul itu juga bertugas sebagai penyegar, pemberi semangat baca yang baru (Soeseno 1982: 46). Oleh karena itu, ada baiknya subjudul tidak ditulis secara kaku.<br />
Pada bagian ini, kita bisa membahas topik secara lebih mendalam. Uraikan persoalan yang perlu dibahas, bandingkan dengan persoalan lain bila diperlukan.<br />
<b>Menutup Artikel</b><br />
Kerangka besar terakhir dalam suatu karya tulis ialah penutup. Bagian ini biasanya memuat simpulan dari isi tulisan secara keseluruhan, bisa juga berupa saran, imbauan, ajakan, dan sebagainya (Tartono 2005: 88).<br />
Ketika hendak mengakhiri tulisan, kita tidak mesti terang-terangan menuliskan subjudul berupa "Penutup" atau "Simpulan". Penutupan artikel bisa kita lakukan dengan menggunakan gaya berpamitan (Soeseno 1982: 48). Gaya pamit itu bisa ditandai dengan pemarkah seperti "demikian", "jadi", "maka", "akhirnya", dan bisa pula berupa pertanyaan yang menggugah pembaca.<br />
<b>Pemeriksaan Isi Artikel</b><br />
Ketika selesai menulis artikel, hal selanjutnya yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Untuk meyakinkan bahwa tulisan yang kita hasilkan memang baik, kita harus rajin memeriksa tulisan kita. Untuk memudahkan pengoreksian artikel, beberapa pertanyaan berikut perlu kita jawab (Pranata 2002: 129-130).<br />
Untuk pembukaan, misalnya, apakah kalimat pembuka bisa menarik pembaca? Dapatkah pembaca mulai mengerti ide yang kita tuangkan? Jika tulisan kita serius, adakah kata-kata yang sembrono? Apakah pembukaan kita menyediakan cukup banyak informasi?<br />
Untuk isi atau tubuh, apakah kalimat pendukung sudah benar-benar mendukung pembukaan? Apakah masing-masing kalimat berhubungan dengan ide pokok? Apakah ada urutan logis antarparagraf?<br />
Untuk simpulan, apakah disajikan dengan cukup kuat? Apakah mencakup semua ide tulisan? Bagaimana reaksi kita terhadap kata-kata dalam simpulan tersebut? Sudah cukup yakinkah kita bahwa pembaca pun akan memiliki reaksi seperti kita?<br />
Jika kita menjawab "tidak" untuk tiap pertanyaan tersebut, berarti kita perlu merevisi artikel itu dengan menambah, mengganti, menyisipi, dan menulis ulang bagian yang salah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
ASPEK BAHASA DALAM ARTIKEL<br />
Melihat target pembacanya yang adalah khalayak umum, kita perlu mencermati bahasa yang kita gunakan dalam menulis artikel ilmiah populer ini. Meskipun bersifat ilmiah (karena memakai metode ilmiah), bukan berarti tulisan yang kita hasilkan ditujukan untuk kalangan akademisi. Sebaliknya, artikel ilmiah populer ditujukan kepada para pembaca umum.<br />
Mengingat kondisi tersebut, kita perlu membedakan antara kosakata ilmiah dan kosakata populer. Kata-kata populer merupakan kata-kata yang selalu akan dipakai dalam komunikasi sehari-hari, baik antara mereka yang berada di lapisan atas maupun di lapisan bawah, demikian sebaliknya. Sedangkan kata-kata yang biasa dipakai oleh kaum terpelajar, terutama dalam tulisan-tulisan ilmiah, pertemuan-pertemuan resmi, diskusi-diskusi khusus disebut kata-kata ilmiah (Keraf 2004: 105-106).<br />
Berikut daftar kata ilmiah dan populer.</div><div style="text-align: justify;"><br />
KATA ILMIAH KATA POPULER<br />
analogi kiasan<br />
anarki kekacauan<br />
bibliografi daftar pustaka<br />
biodata biografi singkat<br />
definisi batasan<br />
diskriminasi perbedaan perlakuan<br />
eksentrik aneh<br />
final akhir<br />
formasi susunan<br />
format ukuran<br />
friksi bagian, pecahan<br />
indeks penunjuk<br />
konklusi kesimpulan<br />
kontemporer masa kini, mutakhir<br />
kontradiksi pertentangan<br />
menganalisa menguraikan<br />
prediksi ramalan<br />
pasien orang sakit </div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-24426237092780960632011-12-31T13:53:00.000-08:002011-12-31T13:53:02.905-08:00PERBEDAAN PUISI LAMA DAN BARU<div> </div><div class="post-header" style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> Ciri Ciri Sastra Lama | Perbedaan Antara Sastra Baru Dengan Sastra Lama - Istilah prosa diambil dari bahasa Latin yaitu oratio provorsa artinya ucapan langsung. Dalamkesusastraan, prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan. Prosa sering pula disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus (misalnya rima, ritme seperti halnya dalam puisi).<br />
Menurut zamannya (masanya) prosa dibedakan menjadi dua periode yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama sebagai gambaran kehidupan masyarakat pada zaman dahulu, yaitu kehidupan masyarakat sebelum memiliki rasa kesadaran nasional. Jika dibatasi dengan tahun, prosa lama ini berkembang sebelum tahun 1900. Prosa lama dibedakan beberapa jenis<br />
di antaranya dongeng, cerita rakyat (fokslore), cerita pelipur lara, hikayat, tambo, epos(wiracarita), cerita berbingkai, dan kitab-kitab.<br />
Sastralamayangberbentuk prosa,umumnyamempunyaiciri-ciri:<br />
1.<br />
Ceritanya seputar kehidupari istana. Karena itu bersifat istana sentris.<br />
2.<br />
Menggambarkan tradisi masyarakat yang lebih menonjolkan kekolektifan daripada<br />
keindividualan. Sebagai akibat logisnya, sastra lama dianggap milik bersama (kolektif).<br />
3.<br />
Konsekuensi dari ciri kedua, sastra lama bersifat anonim, pengarangnya tidak dikenal.<br />
4.<br />
Sastra lama bersifat lisan, disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan, dari mulut<br />
ke mulut (leluri).<br />
1.<br />
Mengidentifikasi Ciri Hikayat sebagai Bentuk Karya Sastra La ma<br />
Hikayat artinya cerita atau riwayat, Secara lengkap, pengertian1 hikayat adalah sejenis prosa sastra<br />
melayu lama yang ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana. Sebagai karya<br />
sastra lama, hikayat memiliki ciri-ciri:<br />
a. Ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana (istana sentris).<br />
b. Kisahnya bercampur dengan dunia khayal yang dalam banyak hal dilebih-lebihkan.<br />
c. Pada umumnya dihubungkan dengan peristiwa sejarah tertentu.<br />
karya sastra lama berbentuk hikayat misalnya Hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah,<br />
Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman,<br />
dan lain-lain.<br />
<br />
Sumber: Peristiwa Sastra Melayu Lama, Drs. H. Soetarno, 2003<br />
<br />
PERBEDAAN ANTARA SASTRA BARU DENGAN SASTRA LAMA<br />
<br />
A. Sastra Lama<br />
Sastra lama adalah sastra yang berbentu lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye Tujuh, Aceh.<br />
Ciri dari sastra lama yaitu :<br />
- Anonim atau tidak ada nama pengarangnya<br />
- Istanasentris (terikat pada kehidupan istana kerajaan)<br />
- Tema karangan bersifat fantastis<br />
- Karangan berbentuk tradisional<br />
- Proses perkembangannya statis<br />
- bahasa klise<br />
Contoh sastra lama : fabel, sage, mantra, gurindam, pantun, syair, dan lain-lain.<br />
B. Sastra Baru<br />
Sastra baru adalah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.<br />
Ciri dari sastra baru yakni :<br />
- Pengarang dikenal oleh masyarakat luas<br />
- Bahasanya tidak klise<br />
- Proses perkembangan dinamis<br />
- tema karangan bersifat rasional<br />
- bersifat modern / tidak tradisional<br />
- masyarakat sentris (berkutat pada masalah kemasyarakatan)<br />
<br />
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/ciri-ciri-sastra-lama-perbedaan-antara.html#ixzz1i2g0XCjv </div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-40163526596397879072011-12-31T13:50:00.000-08:002011-12-31T13:50:49.167-08:00Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah SastrA<div> </div><div class="post-header" style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.<br />
</div><div style="text-align: justify;"> Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik Sastra terjalin keterkaitan. </div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-67687212252698477732011-12-31T13:48:00.000-08:002011-12-31T13:48:09.416-08:00<h3 class="post-title entry-title"> makalah EYD bahasa indonesia </h3><div class="post-header"> </div>BAB I<br />
<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
A. LATAR BELAKANG<br />
<br />
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan, karena selain digunakan sebagaialat komunikasi secara langsung, bahasa juga dapat digunakan sebagai alat komunikasi secaratulisan, di zaman era globalisasi dan pembangunan reformasi demokrasi ini, masyarakatdituntut secara aktif untuk dapat mengawasi dan memahami infrormasi di segala aspek kehidupan sosial secara baik dan benar, sebagai bahan pendukung kelengkapan tersebut, bahasa berfungsi sebagai media penyampaian informasi secara baik dan tepat, dengan penyampaian berita atau materi secara tertulis, diharapkan masyarakat dapat menggunakanmedia tersebut secara baik dan benar. Dalam memadukan satu kesepakatan dalam etika berbahasa, disinilah peran aturan baku tersebut di gunakan, dalam hal ini kita selaku warga Negara yang baik hendaknya selalu memperhatikan rambu-rambu ketata bahasaan Indonesiayang baik dan benar. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah sub. materi dalam ketata bahasaan Indonesia, yang memilik peran yang cukup besar dalam mengatur etika berbahasasecara tertulis sehingga diharapkan informasi tersebut dapat di sampaikan dan di fahamisecara komprehensif dan terarah. Dalam prakteknya diharapkan aturan tersebut dapatdigunakan dalam keseharian Masyarakat sehingga proses penggunaan tata bahasa Indonesiadapat digunakan secara baik dan benar.<br />
<br />
B. RUMUSAN MASALAH<br />
<br />
Apa yang dimaksud dengan pengertian EYD?<br />
Baagaimana sejarah perkembangan EYD?<br />
Bagaimana ruang lingkup EYD?<br />
<br />
TUJUAN<br />
Untuk mengetahui pengertian EYD<br />
Untuk Mengetahui sejarah EYD.<br />
Untukmengetahui Ruang lingkup EYD.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
<br />
PEMBAHASAN<br />
<br />
2.1 PENGERTIAN<br />
<br />
Ejaan yang disempurnakan adalah ejaan bahasa indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.Ejaan adalah seperangkat aturan tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, Kata, dan tanda baca sebagai sarananya. Batasan tersebut menunjukan pengertian kata ejaan berbeda dengan kata mengeja.<br />
<br />
Mengeja adalah kegiatan melafalkan huruf, suku kata, atau kata; sedangkan ejaan<br />
<br />
adalah suatu sistem aturan yang jauh lebih luasdari sekedar masalah pelafalan. Ejaan mengatur keseluruhan caramenuliskan bahasa.<br />
<br />
Ejaan merupakan kaidah yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasademi keteraturan dan keseragaman bentuk, terutama dalam bahasa tulis.Keteraturan bentuk akan berimplikasi pada ketepatan dan kejelasanmakna. Ibarat sedang mengemudi kendaraan, ejaan adalah rambu lalulintas yang harus dipatuhi oleh setiap pengemudi. Jika para pengemudimematuhi rambu-rambu yang ada, terciptalah lalu lintas yang tertib danteratur. Seperti itulah kira-kira bentuk hubungan antara pemakai bahasa dengan ejaan.<br />
<br />
2.2 SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA<br />
<br />
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lahir pada awal tahun dua puluhan. Namun dari segi ejaan, bahasa indonesia sudah lama memiliki ejaan tersendiri. Berdasarkan sejarah perkembangan ejaan, sudah mengalami perubahan sistem ejaan, yaitu :<br />
<br />
1. Ejaan Van Ophuysen<br />
<br />
Ejaan ini mulai berlaku sejak bahasa Indonesia lahir dalam awal tahun dua puluhan. Ejaan ini merupakan warisan dari bahasa Melayu yang menjadi dasari bahasa Indonesia.<br />
<br />
2. Ejaan Suwandi<br />
<br />
Setelah ejaan Van Ophuysen diberlakukan, maka muncul ejaan yang menggantikan, yaitu ejaan Suwandi. Ejaan ini berlaku mulai tahun 1947 sampai tahun 1972.<br />
<br />
3. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)<br />
<br />
Ejaan imi mulai berlaku sejak tahun 1972 sampai sekarang. Ejaan ini merupakan penyempurnaan yang pernah berlaku di Indonesia.<br />
<br />
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) diterapkan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus 1972 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 57/1972 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”. Dengan berlakunya EYD, maka ketertiban dan keseragaman dalam penulisan bahasa Indonesia diharapkan dapat terwujud dengan baik.<br />
<br />
PERUBAHAN PEMAKAIAN HURUF<br />
<br />
DALAM TIGA EJAAN BAHASA INDONESIA<br />
<br />
Ejaan yang Disempurnakan (EYD)<br />
<br />
(mulai 16 Agustus 1972)<br />
<br />
<br />
Ejaan Republik<br />
<br />
(Ejaan Soewandi)<br />
<br />
1947-1972<br />
<br />
<br />
Ejaan Ophuysen<br />
<br />
(1901-1947)<br />
<br />
Khusu<br />
<br />
Jumat<br />
<br />
Yakni<br />
<br />
<br />
Chusus<br />
<br />
Djum’at<br />
<br />
Jakni<br />
<br />
<br />
Choesoes<br />
<br />
Djoem’at<br />
<br />
Ja’ni<br />
<br />
2.3 RUANG LINGKUP EJAAN YANG DISEMPURNAKAN (EYD)<br />
<br />
Ruang lingkup EYD mencakup lima aspek yaitu (1) pemakaian huruf, (2) penulisan huruf, (3) penulisan kata, (4) penulisan unsur, dan (5) pemakaian tanda baca. 3)<br />
<br />
1) Pemakaian Huruf<br />
<br />
Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) dikenal paling banyak menggunakan huruf abjad. Sampai saat ini jumlah huruf abjad yang digunakan sebanyak 26 buah.<br />
<br />
a. Huruf Abjad<br />
<br />
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf berikut. Nama setiap huruf disertakan disebelahnya.<br />
<br />
Huruf<br />
<br />
<br />
Nama<br />
<br />
<br />
Huruf<br />
<br />
<br />
Nama<br />
<br />
<br />
Huruf<br />
<br />
<br />
Nama<br />
A a<br />
<br />
B b<br />
<br />
C c<br />
<br />
D d<br />
<br />
E e<br />
<br />
F f<br />
<br />
G g<br />
<br />
H h<br />
<br />
I i<br />
<br />
<br />
a<br />
<br />
be<br />
<br />
ce<br />
<br />
de<br />
<br />
e<br />
<br />
ef<br />
<br />
ge<br />
<br />
ha<br />
<br />
i<br />
J j<br />
<br />
K k<br />
<br />
L l<br />
<br />
M m<br />
<br />
N n<br />
<br />
O o<br />
<br />
P p<br />
<br />
Q q<br />
<br />
R r<br />
<br />
<br />
je<br />
<br />
ka<br />
<br />
el<br />
<br />
em<br />
<br />
en<br />
<br />
o<br />
<br />
pe<br />
<br />
ki<br />
<br />
er<br />
S s<br />
<br />
T t<br />
<br />
U u<br />
<br />
V v<br />
<br />
W w<br />
<br />
X x<br />
<br />
Y y<br />
<br />
Z z<br />
<br />
<br />
es<br />
<br />
te<br />
<br />
u<br />
<br />
ve<br />
<br />
we<br />
<br />
eks<br />
<br />
ye<br />
<br />
zet<br />
<br />
b. Huruf Vokal<br />
<br />
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o, dan u.<br />
<br />
Huruf Vokal<br />
<br />
<br />
Contoh pemakaian dalam kata<br />
<br />
Di awal<br />
<br />
<br />
Di tengah<br />
<br />
<br />
Di akhir<br />
<br />
A<br />
<br />
e<br />
<br />
i<br />
<br />
o<br />
<br />
u<br />
<br />
<br />
api<br />
<br />
enak<br />
<br />
itu<br />
<br />
oleh<br />
<br />
ulang<br />
<br />
<br />
padi<br />
<br />
petak<br />
<br />
simpan<br />
<br />
kota<br />
<br />
bumi<br />
<br />
<br />
lusa<br />
<br />
sore<br />
<br />
murni<br />
<br />
radio<br />
<br />
ibu<br />
<br />
c. Huruf Konsonan<br />
<br />
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.<br />
<br />
Huruf konsonan<br />
<br />
<br />
Contoh pemakaian dalam kata<br />
<br />
Di awal<br />
<br />
<br />
Di tengah<br />
<br />
<br />
Di akhir<br />
<br />
B<br />
<br />
c<br />
<br />
d<br />
<br />
f<br />
<br />
g<br />
<br />
h<br />
<br />
j<br />
<br />
k<br />
<br />
l<br />
<br />
m<br />
<br />
n<br />
<br />
p<br />
<br />
q<br />
<br />
r<br />
<br />
s<br />
<br />
t<br />
<br />
v<br />
<br />
w<br />
<br />
x<br />
<br />
y<br />
<br />
z<br />
<br />
<br />
bahasa<br />
<br />
cakap<br />
<br />
dua<br />
<br />
fakir<br />
<br />
guna<br />
<br />
hari<br />
<br />
jalan<br />
<br />
kami<br />
<br />
lekas<br />
<br />
maka<br />
<br />
nama<br />
<br />
pasang<br />
<br />
Quran<br />
<br />
raih<br />
<br />
sampai<br />
<br />
tali<br />
<br />
varia<br />
<br />
wanita<br />
<br />
xenon<br />
<br />
yakin<br />
<br />
zeni<br />
<br />
<br />
sebut<br />
<br />
kaca<br />
<br />
ada<br />
<br />
kafan<br />
<br />
tiga<br />
<br />
saham<br />
<br />
manja<br />
<br />
paksa<br />
<br />
alas<br />
<br />
kami<br />
<br />
anak<br />
<br />
apa<br />
<br />
Furqan<br />
<br />
bara<br />
<br />
asli<br />
<br />
mata<br />
<br />
lava<br />
<br />
hawa<br />
<br />
-<br />
<br />
payung<br />
<br />
lazim<br />
<br />
<br />
adab<br />
<br />
-<br />
<br />
abad<br />
<br />
maaf<br />
<br />
balig<br />
<br />
tuah<br />
<br />
mikraj<br />
<br />
politik<br />
<br />
kesal<br />
<br />
diam<br />
<br />
daun<br />
<br />
siap<br />
<br />
-<br />
<br />
putar<br />
<br />
lemas<br />
<br />
rapat<br />
<br />
-<br />
<br />
-<br />
<br />
-<br />
<br />
-<br />
<br />
juz<br />
<br />
d. Huruf Diftong<br />
<br />
Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.<br />
<br />
Huruf Diftong<br />
<br />
<br />
Contoh pemakaian dalam kata<br />
<br />
Di awal<br />
<br />
<br />
Di tengah<br />
<br />
<br />
Di akhir<br />
<br />
Ai<br />
<br />
au<br />
<br />
oi<br />
<br />
<br />
ain<br />
<br />
aula<br />
<br />
-<br />
<br />
<br />
syaitan<br />
<br />
saudara<br />
<br />
boikot<br />
<br />
<br />
pandai<br />
<br />
harimau<br />
<br />
amboi<br />
<br />
e. Gabungan Huruf Konsonan<br />
<br />
Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu : kh, ng, ny, dan sy.Masing-masing melambangkan satu bunyi konsonan.5)<br />
<br />
Gabungan huruf konsonan<br />
<br />
<br />
Contoh pemakaian dalam kata<br />
<br />
Di awal<br />
<br />
<br />
Di tengah<br />
<br />
<br />
Di akhir<br />
<br />
Kh<br />
<br />
ng<br />
<br />
ny<br />
<br />
sy<br />
<br />
<br />
khusus<br />
<br />
ngilu<br />
<br />
nyata<br />
<br />
syarat<br />
<br />
<br />
akhir<br />
<br />
bangun<br />
<br />
hanyut<br />
<br />
isyarat<br />
<br />
<br />
tarikh<br />
<br />
senang<br />
<br />
-<br />
<br />
arasy<br />
<br />
2) Penulisan Huruf<br />
<br />
Dua hal yang harus diperhatikan dalam penulisan huruf berdasarkan EYD, yaitu (1) penulisan huruf besar, dan (2) penulisan huruf miring. Lebih jelasnya dapat dilihat pada pembahasan berikut :<br />
<br />
a. Penulisan Huruf Besar (Kapital)<br />
<br />
Kaidah penulisan huruf besar dapat digunakan dalam beberapa hal, yaitu :<br />
<br />
1) Digunakan sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Dia menulis surat di kamar.<br />
<br />
Tugas bahasa Indonesiasudah dikerjakan.<br />
<br />
2) Digunakan sebagai huruf pertama petikan langsung.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Ayah bertanya, “Apakah mahasiswa sudah libur?”.<br />
<br />
“Kemarin engkau terlambat”, kata ketua tingkat.<br />
<br />
3) Digunakan sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, kata ganti Tuhan, dan nama kitab suci.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Allah Yang Maha kuasa lagi Maha penyayang.<br />
<br />
Terima kasih atas bimbingan-Mu ya Allah.<br />
<br />
4) Digunakan sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan , keturunan, keagamaan yang diikuti nama orang.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Raja Gowa adalah Sultan Hasanuddin.<br />
<br />
Kita adalah pengikut Nabi Muhammad saw.<br />
<br />
5) Digunakan sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang, pengganti nama orang tertentu, nama instansi, dan nama tempat.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Wakil Presiden Yusuf Kalla memberi bantuan mobil.<br />
<br />
Laksamana Muda Udara Abd. Rahman telah dilantik.<br />
<br />
Dia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Depdiknas.<br />
<br />
Bapak Gubernur Sulawesi Selatan menerima laporan korupsi.<br />
<br />
6) Digunakan sebagai huruf pertama unsur nama orang.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Nurhikmah<br />
<br />
Dewi Rasdiana Jufri<br />
<br />
7) Digunakan sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan nama bahasa.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
bangsa Indonesia<br />
<br />
suku Sunda<br />
<br />
bahasaInggris<br />
<br />
8) Digunakan sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
tahun Hijriyah hari Jumat<br />
<br />
bulan Desember hari Lebaran<br />
<br />
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia<br />
<br />
9) Digunakan sebagai huruf pertama nama geografi unsur nama diri.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Laut Jawa Jazirah Arab<br />
<br />
Asia Tenggara Tanjung Harapan<br />
<br />
10) Digunakan sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah, ketatanegaraan, dan nama dokumen resmi, kecuali terdapat kata penghubung.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Republik Indonesia<br />
<br />
Majelis Permusyawaratan Rakyat<br />
<br />
11) Digunakan sebagai huruf pertama penunjuk kekerabatan atau sapaan dan pengacuan.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Surat Saudara sudah saya terima.<br />
<br />
Mereka pergi ke rumah Pak Lurah.<br />
<br />
12) Digunakan sebagai huruf pertama kata ganti Anda.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Surat Anda telah saya balas.<br />
<br />
Sudahkah Anda sholat?<br />
<br />
13) Digunakan sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat dan sapaan.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Dr. doktor<br />
<br />
S.H. sarjana hukum<br />
<br />
14) Digunakan sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.<br />
<br />
Misalnya:<br />
<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />
<br />
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.<br />
<br />
15) Digunakan sebagai huruf pertama semua kata di dalam judul, majalah, surat kabar, dan karangan ilmiah lainnya, kecuali kata depan dan kata penghubung.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.<br />
<br />
Ia menyelesaikan makalah “Asas-Asas Hukum Perdata”.<br />
<br />
b. Penulisan Huruf Miring<br />
<br />
Huruf miring digunakan untuk :<br />
<br />
1) Menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Buku Negarakertagama karangan Prapanca.<br />
<br />
Majalah Suara Hidayatullah sedang dibaca.<br />
<br />
Surat kabar Pedoman Rakyat akan dibeli.<br />
<br />
2) Menegaskan dan mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, dan kelompok kata.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Huruf pertama kata abad adalah a.<br />
<br />
Dia bukan menipu, tetapi ditipu.<br />
<br />
Buatlah kalimat dengan kata lapang dada.<br />
<br />
3) Menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing.<br />
<br />
Misalnya :<br />
<br />
Politik devideet et impera pernah merajalela di Indonesia.<br />
<br />
3) Penulisan Kata<br />
<br />
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan kata, yaitu :<br />
<br />
Kata Dasar<br />
<br />
Kata dasar adalah kata yang belum mengalami perubahan bentuk, yang ditulis sebagai suatu kesatuan.<br />
<br />
Misalnya : Dia teman baik saya.<br />
<br />
Kata Turunan (Kata berimbuhan)<br />
<br />
Kaidah yang harus diikuti dalam penulisan kata turunan, yaitu :<br />
<br />
Imbuhan semuanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya.<br />
<br />
Misalnya : membaca, ketertiban, terdengar dan memasak.<br />
<br />
Awalan dan akhrian ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya jika bentuk dasarnya berupa gabungan kata.<br />
<br />
Misalnya : bertepuk tangan, sebar luaskan.<br />
<br />
Jika bentuk dasarnya berupa gabungan kata dan sekaligus mendapat awalan dan akhiran, kata itu ditulis serangkai.<br />
<br />
Misalnya : menandatangani, keanekaragaman.<br />
<br />
Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.<br />
<br />
Misalnya : antarkota, mahaadil, subseksi, prakata.<br />
<br />
Kata Ulang<br />
<br />
Kata ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda (-). Jenis-jenis kata ulang yaitu :<br />
<br />
Dwipurwa yaitu pengulangan suku kata awal.<br />
<br />
Misalnya : laki lelaki<br />
<br />
Dwilingga yaitu pengulangan utuh atau secara keseluruhan.<br />
<br />
Misalny : rumah rumah-rumah<br />
<br />
Dwilingga salin suara yaitu pengulangan variasi fonem.<br />
<br />
Misalnya : sayur sayur-mayur<br />
<br />
Pengulangan berimbuhan yaitu pengulangan yang mendapat imbuhan.<br />
<br />
Misalnya : main bermain-main<br />
<br />
Gabungan Kata<br />
<br />
Gabungan kata lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus. Bagian-bagiannya pada umumnya ditulis terpisah.<br />
<br />
Misalnya : mata kuliha, orang tua.<br />
<br />
Gabungan kata, termasuk istilah khusus yang menimbulkan kemungkinan salah baca saat diberi tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur bersangkutan.<br />
<br />
Misalnya : ibu-bapak, pandang-dengar.<br />
<br />
Gabugan kata yang sudah dianggap sebgai satu kata ditulis serangkai.<br />
<br />
Misalnya : daripada, sekaligus, bagaimana, barangkali.<br />
<br />
Kata Ganti (ku, mu, nya, kau)<br />
<br />
Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Sedangkan kata ganti ku, mu, nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.<br />
<br />
Misalnya : kubaca, kaupinjam, bukuku, tasmu, sepatunya.<br />
<br />
2. Kata Depan (di, ke, dari)<br />
<br />
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, kecuali pada gabungan kata yang dianggap padu sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.<br />
<br />
Misalnya : Jangan bermian di jalan<br />
<br />
Saya pergi ke kampung halaman.<br />
<br />
Dewi baru pulang dari kampus.<br />
<br />
Kata Sandang (si dan sang)<br />
<br />
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.<br />
<br />
Misalnya : Nama si pengrimi surat tidak jelas.<br />
<br />
Anjing bermusuhan dengan sang kucing.<br />
<br />
Partikel<br />
<br />
Partikel merupakan kata tugas yang mempunyai bentuk yang khusus, yaitu sangat ringkas atau kecil dengan mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Kaidah penulisan partikel sebagai berikut :<br />
<br />
Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.<br />
<br />
Misalnya : Bacalah buku itu baik-baik!<br />
<br />
Apakah yang dipelajari minggu lalu?<br />
<br />
Apatah gerangan salahku?<br />
<br />
Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya kecuali yang dianggap sudah menyatu.<br />
<br />
Misalnya : Jika ayah pergi, ibu pun ikut pergi.<br />
<br />
Partikel per yang berarti memulai, dari dan setiap. Partikel per ditulis terpisah dengan bagian-bagian kalimat yang mendampinginya.<br />
<br />
Misalnya : Rapor siswa dilihat per semester.<br />
<br />
Singkatan dan Akronim<br />
<br />
Singkatan adalah nama bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu kata atau lebih.<br />
<br />
Misalnya : dll = dan lain-lain<br />
<br />
yth = yang terhormat<br />
<br />
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.<br />
<br />
Misalnya : SIM = Surat Izin Mengemudi<br />
<br />
IKIP = Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan<br />
<br />
Angka dan Lambang Bilangan<br />
<br />
Dalam bahasa Indonesia ada dua macam angka yang lazim digunakan , yaitu : (1) Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan (2) Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X.<br />
<br />
Lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut :<br />
<br />
1) Bilangan utuh. Misalnya : 15 lima belas<br />
<br />
2) Bilangan pecahan. Misalnya : 3/4 tiga perempat<br />
<br />
3) Bilangan tingakt. Misalnya : Abad II<br />
<br />
Abad ke-2<br />
<br />
4) Kata bilagan yang mendapat akhiran –an.<br />
<br />
Misalnya : tahun 50-an lima puluhan<br />
<br />
5) Angka yang mneyatakan bilagnan bulat yang besar dapat dieja sebagian supaya mudah dibaca.<br />
<br />
Misalnya : Sekolah itu baru mendapat bantuan 210 juta rupiah.<br />
<br />
6) Lambang bilangan letaknya pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Kalau perlu diupayakan supaya tidak diletakkan di awal kalimat dengan mengubah struktur kalimatnya dan maknanya sama.<br />
<br />
Misalnya : Dua puluh lima siswa SMA tidak lulus. (benar)<br />
<br />
55 siswa SMA 1 tidak lulus. (salah)<br />
<br />
7) Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali beberapa dipakai secara berurutan seperti dalam perincian atau pemaparan.<br />
<br />
Misalnya : Amir menonton pertunjukan itu selama dua kali.<br />
<br />
4) Penulisan Unsur Serapan<br />
<br />
Dalam hal penulisan unsur serapan dalam bahasa Indonesia, sebagian ahli bahasa Indonesia menganggap belum stabil dan konsisten. Dikatakan demikian karena pemakai bahasa Indonesia sering begitu saja menyerap unsur asing tanpa memperhatikan aturan, situasi, dan kondisi yang ada. Pemakai bahasa seenaknya menggunakan kata asing tanpa memproses sesuai dengan aturan yang telah diterapkan.<br />
<br />
Penyerapan unsur asing dalam pemakaian bahasa indonesia dibenarkan, sepanjang : (a) konsep yang terdapat dalam unsur asing itu tidak ada dalam bahasa Indonesia, dan (b) unsur asing itu merupakan istilah teknis sehingga tidak ada yang layak mewakili dalam bahasa Indonesia, akhirnya dibenarkan, diterima, atau dipakai dalam bahasa Indonesia. sebaliknya apabila dalam bahasa Indonesia sudah ada unsur yang mewakili konsep tersebut, maka penyerapan unsur asing itu tidak perlu diterima.<br />
<br />
Menerima unsur asing dalam perbendaharaan bahasa Indonesia bukan berarti bahasa Indonesia ketinggalan atau miskin kosakata. Penyerapan unsur serapan asing merupakan hal yang biasa, dianggap sebagai suatu variasi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena setiap bahasa mendukung kebudayaan pemakainya. Sedangkan kebudayaan setiap penutur bahasa berbeda-beda anatar satu dengan yang lain. Maka dalam hal ini dapat terjadi saling mempengaruhi yang biasa disebut akulturasi. Sebagai contoh dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia tidak mengenal konsep “radio” dan “televisi”, maka diseraplah dari bahasa asing (Inggris). Begitu pula sebaliknya, di Inggris tidak mengenal adanya konsep “bambu” dan “sarung”, maka mereka menyerap bahasa Indonesia itu dalam bahasa Inggris.<br />
<br />
Berdasarkan taraf integritasnya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dikelompokkan dua bagian, yaitu :<br />
<br />
Secara adopsi, yaitu apabila unsur asing itu diserap sepenuhnya secara utuh, baik tulisan maupun ucapan, tidak mengalami perubahan. Contoh yang tergolong secara adopsi, yaitu : editor, civitas academica, de facto, bridge.<br />
Secara adaptasi, yaitu apabila unsur asing itu sudah disesuaikan ke dlaam kaidah bahasa Indonesia, baik pengucapannya maupun penulisannya. Salah satu contoh yang tergolong secara adaptasi, yaitu : ekspor, material, sistem, atlet, manajemen, koordinasi, fungsi.<br />
<br />
5) Pemakaian Tanda Baca<br />
<br />
Tanda Titik (.)<br />
<br />
Penulisan tanda titik di pakai pada :<br />
<br />
Akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan<br />
Akhir singkatan nama orang.<br />
Akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan.<br />
Singkatan atau ungkapan yang sudah sangat umum.Bila singkatan itu terdiri atas tiga hurus atau lebih dipakai satu tanda titik saja.<br />
Dipakai untuk memisahkan bilangan atau kelipatannya.<br />
Memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu.<br />
Dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.<br />
Tidak dipakai pada akhir judulyang merupakan kepala karangan atau ilustrasi dan tabel.<br />
<br />
Tanda koma (,)<br />
<br />
Kaidah penggunaan tanda koma (,) digunakan :<br />
<br />
Antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.<br />
Memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata tetapi atau melainkan.<br />
Memisahkan anak kalimat atau induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.<br />
Digunakan dibelakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk kata : (1) Oleh karena itu, (2) Jadi, (3) lagi pula, (4) meskipun begitu, dan (5) akan tetapi.<br />
Digunakan untuk memisahkan kata seperti : o, ya, wah, aduh, dan kasihan.<br />
Memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.<br />
Dipakai diantara : (1) nama dan alamat, (2) bagina-bagian alamat, (3) tempat dan tanggal, (4) nama dan tempat yang ditulis secara berurutan.<br />
Dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.<br />
Dipakai antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.<br />
Menghindari terjadinya salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.<br />
Dipakai di antara bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.<br />
Dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.<br />
Tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau seru.<br />
<br />
Tanda Titik Tanya ( ? )<br />
<br />
Tanda tanya dipakai pada :<br />
<br />
Akhir kalimat tanya.<br />
Dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang diragukan atau kurang dapat dibuktikan kebenarannya.<br />
<br />
Tanda Seru ( ! )<br />
<br />
Tanda seru dugunakan sesudah ungkapan atau pertanyaan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kseungguhan, ketidakpercayaan, dan rasa emosi yang kuat.<br />
<br />
Tanda Titik Koma ( ; )<br />
<br />
Tanda titik koma dipakai :<br />
<br />
Memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.<br />
Memisahkan kalimat yang setara dalam kalimat majemuk sebagai pengganti kata penghubung.<br />
<br />
Tanda Titik Dua ( : )<br />
<br />
Tanda titik dua dipakai :<br />
<br />
Sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemberian.<br />
Pada akhir suatu pertanyaan lengkap bila diikuti rangkaian atau pemerian.<br />
Di dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan .<br />
Di antara jilid atau nomor dan halaman.<br />
Di antara bab dan ayat dalam kitab suci.<br />
Di antara judul dan anak judul suatu karangan.<br />
Tidak dipakai apabila rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.<br />
<br />
Tanda Elipsis (…)<br />
<br />
Tanda ini menggambarkan kalimat-kalimat yang terputus-putus dan menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dibuang. Jika yang dibuang itu di akhir kalimat, maka dipakai empat titik dengan titik terakhir diberi jarak atau loncatan.<br />
<br />
Tanda Garis Miring ( / )<br />
<br />
Tanda garis miring ( / ) di pakai :<br />
<br />
Dalam penomoran kode surat.<br />
Sebagai pengganti kata dan,atau, per, atau nomor alamat.<br />
<br />
Tanda Penyingkat atau Apostrof ( ‘)<br />
<br />
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan sebagian huruf.<br />
<br />
Tanda Petik Tunggal ( ‘…’ )<br />
<br />
Tanda petik tunggal dipakai :<br />
<br />
Mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain.<br />
Mengapit terjemahan atau penjelasan kata atau ungkapan asing.<br />
<br />
Tanda Petik ( “…” )<br />
<br />
Tanda petik dipakai :<br />
<br />
Mengapit kata atau bagian kalimat yang mempunyai arti khusus, kiasan atau yang belum dikenal.<br />
Mengapit judul karangan, sajak, dan bab buku, apabila dipakai dalam kalimat.<br />
Mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
<br />
PENUTUP<br />
<br />
A. Simpulan<br />
<br />
1. Pengertian EYD<br />
<br />
Ejaan yang disempurnakan adalah ejaan bahasa indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Ejaan adalah seperangkat aturan tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, kata, dan tanda baca sebagai sarananya. Batasan tersebut menunjukan pengertian kata ejaan berbeda dengan kata mengeja.<br />
<br />
Mengeja adalah kegiatan melafalkan huruf, suku kata, atau kata; sedangkan ejaan adalah suatu sistem aturan yang jauh lebih luasdari sekedar masalah pelafalan. Ejaan mengatur keseluruhan cara menuliskan bahasa.<br />
<br />
2. Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia<br />
<br />
Berdasarkan sejarah perkembangan ejaan, sudah tiga kali mengalami perubahan sistem ejaan, yaitu :<br />
<br />
a) Ejaan Van Ophuysen<br />
<br />
Ejaan ini mulai berlaku sejak bahasa Indonesia lahir dalam awal tahun dua puluhan. Ejaan ini merupakan warisan dari bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa Indonesia.<br />
<br />
b) Ejaan Suwandi<br />
<br />
Setelah ejaan Van Ophuysen diberlakukan, maka muncul ejaan yang menggantikan, yaitu ejaan Suwandi. Ejaan ini berlaku mulai tahu 1947-1972.<br />
<br />
c) Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)<br />
<br />
Ejaan ini mulai berlaku sejak tahun 1972 sampai sekarang. Ejaan ini merupakan penyempurnaan dari seluruh ejaan sebelumnya yang pernah berlaku di Indonesia.<br />
<br />
PERUBAHAN PEMAKAIAN HURUF<br />
<br />
DALAM TIGA EJAAN BAHASA INDONESIA<br />
<br />
Ejaan yang Disempurnakan (EYD)<br />
<br />
(mulai 16 Agustus 1972)<br />
<br />
<br />
Ejaan Republik<br />
<br />
(Ejaan Soewandi)<br />
<br />
1947-1972<br />
<br />
<br />
Ejaan Ophuysen<br />
<br />
(1901-1947)<br />
<br />
Khusu<br />
<br />
Jumat<br />
<br />
Yakni<br />
<br />
<br />
Chusus<br />
<br />
Djum’at<br />
<br />
Jakni<br />
<br />
<br />
Choesoes<br />
<br />
Djoem’at<br />
<br />
Ja’ni<br />
<br />
3. Ruang Lingkup Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)<br />
<br />
a) Pemakaian Kata<br />
<br />
b) Penulisan Huruf<br />
<br />
c) Penulisan Kata<br />
<br />
d) Penulisan Unsur Serapan<br />
<br />
<div style="text-align: justify;"> e) Penulisan Tanda Baca </div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-87226036821569028712011-12-31T13:45:00.000-08:002011-12-31T13:45:26.910-08:00MAKALAH KRITIK SASTRA<div class="post-header"> </div>Arti dan Sejarah Kritik Sastra<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Lahirnya kritik sastra telah melengkapi bidang studi sastra atau wilayah ilmu sastra menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Sering orang mencampuradukkan ketiga bidang studi ini padahal ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda walaupun saling berhubungan, saling menunjang, dan saling mengisi.<br />
Teori sastra menelaah bidang yang membicarakan pengertian sastra, hakikat sastra, penelitian sastra, jenis dan gaya penulisan, dan teori penikmatan sastra. Sedangkan sejarah sastra menyangkut studi yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra yang menyangkut masalah periodisasi dan perkembangan sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya, yang membahas bernilai tidaknya sebuah karya sastra.<br />
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan kritik sastra dan apa peranannya terhadap hasil karya sastra, pelajarilah uraian berikut dengan sungguh-sungguh.<br />
<br />
B. ARTI DAN SEJARAH KRITIK SASTRA<br />
Istilah kritik sastra yang pada zaman modern ini sangat populer, sebenarnya telah memiliki sejarah yang amat panjang. Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya.<br />
Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi. Kemudian muncullah kata kritikos yang diartikan sebagai hakim kesusastraan. Pengertian ini berlaku pada abad ke-4.<br />
Di dalam pustaka sastra Latin klasik, istilah criticus jarang sekali dipakai. Dalam pemakaian yang sangat jarang itu, criticus dipandang lebih tinggi daripada grammaticus. Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam pembinaan istilah kritikos atau criticus sebagaimana lazimnya sekarang dipergunakan orang dalam bahasa Inggris literary criticism adalah tokoh-tokoh pemuka kaum retorika seperti Quntilianus dan filosof Aristoteles.<br />
Dalam abad pertengahan, istilah kritik tenggelam. Pemakaiaannya cuma terbatas pada lingkungan kedokteran dalam arti krisis dan dalam penggunaan penyakit kritis (critical illness). Tetapi dalam zaman Renaissance istilah kritik muncul kembali dalam arti semulanya. Polizianus pada tahun 1492 mempergunakan istilah criticus sebagai antitese daripada filosof, begitu juga istilah grammaticus.<br />
Dengan demikian timbullah pengacauan penggunaan istilah kritikus dengan grammatikus dan filologis terutama di kalangan orang-orang yang menggarap harta karun pustaka sastra lama. Di kalangan kaum humanis selanjutnya kata kritik dan kritikus pemakaiaannya terbatas pada penerbitan dan pembetulan naskah-naskah kuno. Tujuan kaum kritikus adalah mencabuti cacat cela guna perbaikan naskah-naskah karya para pujangga kuno, baik Yunani ataupun Latin. Jadi jelaslah di sini bahwa kritikus ditempatkan di bawah gramatikus.<br />
Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap, yang kemudian dipandang sebagai sumber dari pengertian kritik modern berjudul Criticus ditulis oleh Julius Caesar Sealinger (1484-1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam jilid ke enam ini, ia mengadakan penyelidikan dan perbandingan, yang sudah barang tentu terlalu memakan tenaga dan minat, antara para pengarang Yunani dan Romawi Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan dan bahkan pemeriksaan terhadap Homerus dan Vergilius dalam kelas yang sama. Kemudian karena usahanya ini, Sealiger mendapat julukan le grand critique, kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis.<br />
Kemudian istilah kritik ini diterima di kalangan luas dalam artian yang luas pula pada abad ke-16 dan ke-17. Pengarang terkenal Moliere misalnya, menulis sebuah buku berjudul Critique de L’ecole des Femmes (1663). Kritik sastra jelas selalu dihubungkan dengan sastra kuno dan diidentifikasikan dengan seluruh masalah tentang teori pengetahuan dan penangkapan.<br />
Di Inggris, kata kritik dengan sendirinya mempunyai perkembangan dan sejarah sendiri. Pada zaman Elizabetan, kata critic tidak pernah kedengaran ataupun ditulis orang. Buku pertama yang membicarakan tentang masalah ini adalah Advancement of Learning karangan Francis Beacon (1605). Buku ini memperbincangkan tradisi-tradisi ilmu pengetahuan dalam kategori-kategori sebagai berikut:<br />
1. Critical, yang memberikan ciri-ciri:<br />
a. Berpautan dengan perbaikan dan penerbitan yang benar dari karya para pujangga;<br />
b. Berpautan dengan eksposisi (pembeberan) dan eksplikasi (pengudaraan);<br />
c. Berpautan dengan zaman yang banyak kali memberikan petunjuk yang jelas buat mengadakan penafsiran yang tepat;<br />
d. Berpautan dengan sekilas pemeriksaan atau sensor penghakiman terhadap karya-karya para pujangga; dan<br />
e. Berpautan dengan sintaksis yang berarti tata kalimat serta disposisi atau hikmah keilmuannya.<br />
2. Pedantical<br />
Dalam garis besarnya, perkembangan istilah di Inggris sejajar dengan di Perancis. Tetapi harus diingat bahwa pemakaiaan istilah itu tidak semudah di Perancis. Kata benda critism yang belakangan ini sangat biasa dipakai sebenarnya merupakan usaha untuk menghindari adanya homonimi yang terdapat pada kata critic, sebab pada mulanya kata ini di samping mempunyai arti tindakannya juga orang yang melakukan tindakan itu. Usaha lain untuk menghindari homonim itu terdapat juga dalam pemakaian critique yang merupakan pinjaman dari Perancis.<br />
Pengarang pertama di dalam sastra Inggris yang mempergunakan istilah criticism dalam arti yang dipegang teguh sampai sekarang adalah John Dryden yang menuliskan: criticism yang telah diletakkan oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai penghakiman yang benar. Masih ada seorang tokoh lain lagi yang telah menulis sajak panjang berjudul Essay on Criticism, yakni Alexander Pope.<br />
Dengan demikian jelaslah bahwa istilah criticism meluas benar pemakaiaannya., mendesak kata critick. Ini berarti juga telah lenyapnya suatu homonim.<br />
Kalau di dalam sastra Jerman ditemukan juga istilah kritik dan kritisch itu merupakan pengaruh yang merembes dari Perancis. Untuk artian yang dikandung oleh kritik di dalam sastra Inggris atau Perancis, sastra Jerman memiliki istilah Literaturwissenshaft. Istilah ini pernah juga diusahakan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris ataupun Perancis menjadi the science of literature, tetapi tidak begitu mendapat sambutan sebab di dalam kedua bahasa itu istilah science memang mempunyai arti yang lebih khusus dan sempit yakni tertuju pada pengetahuan eksakta.<br />
Demikianlah sekedar penjelajahan yang telah dilakukan sepintas kilas saja untuk mernyingkap asal istilah kritik sastra dan pemakaiannya di dalam sejarah pustaka sastra sejauh ini.<br />
Bahasa Indonesia tidak melihat adanya persoalan berkenaan istilah kritik. Istilah ini diterima di kalangan luas dengan cukup memberikan implikasi ke arah pemgertian yang sebenarnya, meskipun harus diakui bahwa sementara orang ada juga yang melakukan usaha untuk memperkenalkan istilah lain seperti ulasan, teropong, sorotan, dan wawasan. Tokoh-tokoh di Indonesia yang telah memperjuangkan pengenalan istilah kritik ini antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, dan belakangan ini disusul oleh Boen S. Oemarjati dan Goenawan Mohamad.<br />
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pemgkajian, telaah, bahasan, atau ulasan. Sungguhpun demikian, bukan tidak terjadi sebelumnya penilaian atau penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya di dalam sejarah kehidupan kesastraan di nusantara ini.<br />
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pengkajian, telaah, bahasan, atau ulasan.<br />
Mengenai kritik sastra itu sendiri, beberapa batasan kita jumpai. H.B. Jassin mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra.<br />
Menurut Gayley dan Scott (1970), kritik sastra adalah:<br />
1. Mencari kesalahan (fault finding)<br />
2. Memuji (to praise)<br />
3. Menilai (to judge)<br />
4. Membanding (to compare)<br />
5. Menikmati (to appreciate)<br />
Menurut Duroche (1967) denagn mengutip pendapat Stanley Edgar Huyman, menarik kesimpulan tentang kritik sastra:<br />
1. Kritik sastra adalah penilaian (evaluation).<br />
2. Kritik sastra adalah interpretasi, sebab belum adanya ukuran yang baku dan ukuran itu sendiri tidak dapat disusun.<br />
3. Kritik sastra itu adalah penialain dan interpretasi.<br />
Dari beberapa penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk member pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik.<br />
Suatu kritik sastra dapat dilakukan dengan oendekatan atau dengan metode yang berlainan. Oelh sebab itu kritik sastra dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:<br />
1. Kritik sastra penilaian (judicial criticism), yaitu kritik sastra yang sifatnya member penilaian terhadap pengarang dan karyanya.<br />
2. Kritik sastra induktif (inductive criticism), yaitu kritik sastra yang tidak mau mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.<br />
<br />
<br />
Kritik sastra juga dibagi berdasarkan tipe sejarah sastra dan kritik sastra, yaitu sebagai berikut:<br />
1. Impresionistik<br />
2. Kesejarahan<br />
3. Textual<br />
4. Formal<br />
5. Yudisial<br />
6. Analitik<br />
7. Moral<br />
8. Mitik<br />
Bila dilihat dari hakikat suatu karya sastra yang merupakan suatu keutuhan, suatu kebutuhan yang berdiri sendiri, maka kritik sastra dapat pula dibagi atas tiga aspek. Ketiga aspek kritik itu disejajarkan dengan ketiga aspek sastra sebagai suatu bentuk karya seni. Aspek-aspek itu adalah pertama, sastra itu merupakan suatu fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil karya dan seorang seniman yang datang dari suatu lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang tidak lepas dari rangkaian sejarah. Kedua, suatu karya sastra pastilah merupakan pengejawantahan karya yang menandai karya-karya sastra lain, termasuk didalamnya aliran, permasalahan, dan kebudayaan yang sama atau hampir sama dengan karya sastra tersebut. Ketiga, karya sastra sebagaimana juga dengan karya sastra yang lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya seni, begitu juga dengan kebenaran yang diungkapkan dan kepentingannya pada kehidupan masyarakat. Tegasnya, suatu karya sastra mempunyai tingkatan sendiri dalam hal kesempurnaan dan mempunyai pandangan sendiri tentang nilai-nilai.<br />
Bertolak dari pendirian itu, maka seorang kritikus yang jelilah yang dapat mengamati aspek-aspek perbedaab dan kesamaan suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Ketepatan pengamatan seorang kritikus tentulah didasarkan pada keluasaan pengalaman, pengetahuan, pendidikan, dan minatnya yang besar. Dengan itu pula seorang kritikus dapat menghasilkan suatu pandangan serta getaran hati yang lebih halus dibandingkan dengan pembaca biasa. Oleh sebab itu kritik sastra pun menghendaki ketiga aspek seperti yang sudah dikemukakan di atas.<br />
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta.<br />
Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer. Dan kecenderungan inilah yang memberikan kesempatan pada kritik itu, yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada pembinaan,peningkatan kejiwaan bangsa, dan kepada pengangkatan kejiwaan umat manusia. Kritik berdedikasi kepada modernisasi. Dengan kritik dapat diharapkan agar dihindarkan alienasi yang sering terjadi antara sastrawan, pencipta, dan masyarakat. Kritik hendaknya menjembatani jurang itu, sehingga kesusastraan menjadi bagian yang integral dengan kehidupan budaya manusia. Jadi kesusastraan mempunyai fungsi dalam masyarakat. Bagaimana fungsi ini, bergantung pada pelaksanaan fungsi itu.<br />
Hubungan komunikasi antara karya sastra dengan kritikus disebut komunikasi kritika. Komunikasi ini bisa positif dan bisa negatif, penilaian ini harus ada alasannya yang harus ditarik dalam karya sastra itu. Subjektivitas penilaian dapat diimbangi dan diperkecil dengan menarik semua alasan dari eksistensi karya sastra itu sendiri. Kritik pada umumnya bersifat eksplisit yang bertugas membongkar semuanya untuk menjelaskan semuanya. Dalam kritik sastra yang baik senantiasa tersimpan pendirian kritikus tentang hakikat dan fungsi kesusastraan itu sendiri. Disini nyata pertalian antara kritik dan estetika.<br />
Dalam melaksanankan kritik sastra ini membutuhkan bantuan ilmu-ilmu kerabat tertentu, antara lain:<br />
1. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan idealisasi.<br />
2. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan aktualisasi.<br />
Akan tetapi kritik sastra itu sendiri tidak boleh tergelincir menjadi ilmu kerabat itu sendiri.<br />
<br />
<br />
C. PENUTUP<br />
Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya. Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi.<br />
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta. Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer.<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
Wahid, Sugira. 2009. Kapita Selekta Kritik Sastra. MakassarPBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-50381752271484170292011-12-31T13:43:00.000-08:002011-12-31T13:43:01.859-08:00PENGERTIAN UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DALAM KARYA SASTRA<div class="post-header"> </div>PENGERTIAN FUNGSI DAN RAGAM SASTRA<br />
<br />
A. Pengertian Sastra<br />
<br />
Kesusastraan : susastra + ke – an<br />
su + sastra<br />
su berarti indah atau baik<br />
sastra berarti lukisan atau karangan<br />
Susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah.<br />
Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung<br />
nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.<br />
B. Fungsi Sastra<br />
Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :<br />
<br />
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.<br />
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.<br />
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.<br />
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.<br />
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.<br />
C. Ragam Sastra<br />
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :<br />
a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.<br />
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :<br />
(1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya,<br />
(2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,<br />
(3) Irama, dan<br />
(4) Persamaan bunyi kata.<br />
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.<br />
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.<br />
<br />
Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.<br />
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :<br />
a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa<br />
mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.<br />
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.<br />
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang<br />
masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.<br />
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.<br />
3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :<br />
a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :<br />
(1) Kesusastraan zaman purba,<br />
(2) Kesusastraan zaman Hindu Budha,<br />
(3) Kesusastraan zaman Islam, dan<br />
(4) Kesusastraan zaman Arab – Melayu.<br />
b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :<br />
<br />
(1) Hikayat Abdullah<br />
(2) Syair Singapura Dimakan Api<br />
(3) Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah<br />
(4) Syair Abdul Muluk, dll.<br />
c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. <br />
Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :<br />
(1) Balai Pustaka / Angkatan ‘20<br />
(2) Pujangga Baru / Angkatan ‘30<br />
(3) Jepang<br />
(4) Angkatan ‘45<br />
(5) Angkatan ‘66<br />
(6) Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang<br />
D. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik<br />
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latae dan pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain.<br />
1. Unsur Intrinsik<br />
a) Tema dan Amanat<br />
<br />
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.<br />
Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema<br />
minor ialah tema yang tidak menonjol.<br />
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di<br />
dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi<br />
makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan<br />
oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah<br />
makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.<br />
b) Tokoh dan Penokohan<br />
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada<br />
beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama<br />
ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya<br />
sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh<br />
bulat (round character).<br />
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalny6a baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai<br />
segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis ialah tokoh yang<br />
disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya.<br />
<br />
Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.<br />
Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara<br />
penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi<br />
pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara<br />
dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi<br />
melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku<br />
atau tokoh dalam suatu cerita.<br />
Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.<br />
Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja.<br />
Monolog ialah cakapan batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang<br />
terjadi.<br />
Solilokui ialah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan terjadi.<br />
c) Alur dan Pengaluran<br />
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh.<br />
<br />
Alur terdiri atas beberapa bagian :<br />
(1) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.<br />
(2) Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku.<br />
(3) Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru.<br />
(4) Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.<br />
(5) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap.<br />
(6) Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.<br />
Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita.<br />
Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur<br />
<br />
ganda ialah alur yang lebih dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan kedalam alur lurus dan tidak lurus. Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau campauran keduanya.<br />
d) Latar dan Pelataran<br />
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam atau lingkungan di mana tokoh tersebut berada. Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara menampilkan latar.<br />
e) Pusat Pengisahan<br />
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah privbadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang ketiga. Sebagai orang pertama, pencerita duduk dan terlibat dalam cerita tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang yang serba tahu.<br />
2. Unsur Ekstrinsik<br />
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca<br />
sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.<br />
<br />
<br />
<br />
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Karya Sastra<br />
UNSUR INTINSIK<br />
<br />
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam.<br />
<br />
Unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah :<br />
<br />
TEMA<br />
AMANAT<br />
ALUR/PLOT<br />
PERWATAKAN/PENOKOHAN<br />
LATAR/SETTING<br />
SUDUT PANDANG/POINT OF VIEW<br />
UNSUR-UNSUR INTRINSIK<br />
<br />
A. TEMA<br />
<br />
adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya<br />
<br />
B. AMANAT<br />
<br />
adalah pesan/kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup<br />
<br />
C. PLOT/ALUR<br />
<br />
adalah jalan cerita/rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.<br />
<br />
TAHAP-TAHAP ALUR<br />
<br />
1. Tahap perkenalan/Eksposisi<br />
<br />
adalah tahap permulaan suatu cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tetapi belum ada ketegangan (perkenalan para tokoh, reaksi antarpelaku, penggambaran fisik, penggambaran tempat)<br />
<br />
2. Tahap pertentangan /Konflik<br />
<br />
adalah tahap dimana mulai terjadi pertentangan antara pelaku-pelaku (titik pijak menuju pertentangan selanjutnya)<br />
<br />
Konflik ada dua ;<br />
<br />
1. konflik internal<br />
<br />
adalah konflik yang terjadi dalam diri tokoh.<br />
<br />
2. konflik eksternal<br />
<br />
adalah konflik yang terjadi di luar tokoh(konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan alam, konlik tokoh denganTuhan dll)<br />
<br />
3. Tahap penanjakan konflik/Komplikasi<br />
<br />
adalah tahap dimana ketegangan mulai terasa semakin berkembang dan rumit (nasib pelaku semakin sulit diduga, serba samar-samar)<br />
<br />
4. Tahap klimaks<br />
<br />
adalah tahap dimana ketegangan mulai memuncak (perubahan nasip pelaku sudah mulai dapat diduga, kadang dugaan itu tidak terbukti pada akhir cerita)<br />
<br />
5. Tahap penyelesaian<br />
<br />
adalah tahap akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Ada pula yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca, jadi akhir ceritanya menggantung, tanpa ada penyelesaian.<br />
<br />
MACAM-MACAM ALUR<br />
<br />
Alur maju<br />
adalah peristiwa –peristiwa diutarakan mulai awal sampai akhir/masa kini menuju masa datang.<br />
<br />
2. Alur mundur/Sorot balik/Flash back<br />
<br />
adalah peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu/masa kini, baru menceritakan peristiwa-peristiwa pokok melalui kenangan/masa lalu salah satu tokoh.<br />
<br />
3. Alur gabungan/Campuran<br />
<br />
adalah peristiwa-peristiwa pokok diutarakan. Dalam pengutararaan peristiwa-peristiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa-peristiwa yang lampau,kemudian mengenang peristiwa pokok ( dialami oleh tokoh utama) lagi.<br />
<br />
D. PERWATAKAN/PENOKOHAN<br />
<br />
adalah bagaimana pengarang melukiskan watak tokoh<br />
<br />
ADA TIGA CARA UNTUK MELUKISKAN WATAK TOKOH<br />
<br />
Analitik<br />
adalah pengarang langsung menceritakan watak tokoh.<br />
<br />
Contoh :<br />
<br />
Siapa yang tidak kenal Pak Edi yang lucu, periang, dan pintar. Meskipun agak pendek justru melengkapi sosoknya sebagai guru yang diidolakan siswa. Lucu dan penyanyang.<br />
<br />
2. Dramatik<br />
<br />
adalah pengarang melukiskan watak tokoh dengan tidak langsung.<br />
<br />
Bisa melalui tempat tinggal,lingkungan,percakapan/dialog antartokoh, perbuatan, fisik dan tingkah laku, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu, jalan pikiran tokoh.<br />
<br />
Contoh :<br />
<br />
Begitu memasuki kamarnya Yayuk, pelajar kelas 1 SMA itu langsung melempar tasnya ke tempat tidur dan membaringkan dirinya tanpa melepaskan sepatu terlebih dahulu. (tingkah laku tokoh)<br />
<br />
3. Campuran<br />
<br />
adalah gabungan analitik dan dramatik.<br />
<br />
Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia , binatang, atau benda-benda mati yang diinsankan<br />
<br />
PELAKU/TOKOH DALAM CERITA<br />
<br />
Pelaku utama<br />
adalah pelaku yang memegang peranan utama dalam cerita dan selalu hadir/muncul pada setiap satuan kejadian.<br />
<br />
2. Pelaku pembantu<br />
<br />
adalah pelaku yang berfungsi membantu pelaku utama dalam cerita.Bisa bertindak sebagai pahlawan mungkin juga sebagai penentang pelaku utama.<br />
<br />
3. Pelaku protagonis<br />
<br />
adalah pelaku yang memegang watak tertentu yang membawa ide kebenaran.(jujur,setia,baik hati dll)<br />
<br />
4. Pelaku antagonis<br />
<br />
adalah pelaku yang berfungsi menentang pelaku protagonis (penipu, pembohong dll)<br />
<br />
5. Pelaku tritagonis<br />
<br />
adalah pelaku yang dalam cerita sering dimunculkan sebagai tokoh ketiga yang biasa disebut dengan tokoh penengah.<br />
<br />
E. LATAR/SETTING<br />
<br />
Latar/ setting adalah sesuatu atau keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita.<br />
<br />
Macam-macam latar<br />
<br />
Latar tempat<br />
adalah latar dimana pelaku berada atau cerita terjadi (di sekolah, di kota, di ruangan dll)<br />
<br />
2. Latar waktu<br />
<br />
adalah kapan cerita itu terjadi ( pagi, siang,malam, kemarin, besuk dll)<br />
<br />
3. Latar suasana<br />
<br />
adalah dalam keadaan dimana cerita terjadi. (sedih, gembira, dingin, damai, sepi dll)<br />
<br />
F. SUDUT PANDANG PENGARANG<br />
<br />
Sudut pandang adalah posisi/kedudukan pengarang dalam membawakan cerita.<br />
<br />
Sudut pandang dibedakan atas :<br />
<br />
Sudut pandang orang kesatu<br />
adalah pengarang berfungsi sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam cerita, terutama sebagai pelaku utama. Pelaku utamanya(aku, saya, kata ganti orang pertama jamak : kami, kita)<br />
<br />
2. Sudut pandang orang ketiga<br />
<br />
adalah pengarang berada di luar cerita, ia menuturkan tokoh-tokoh di luar, tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya (ia, dia, mereka,kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama lain)<br />
<br />
UNSUR EKSTRINSIK<br />
<br />
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar<br />
<br />
UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK<br />
<br />
Latar Belakang Penciptaan<br />
adalah kapan karya sastra tersebut diciptakan<br />
<br />
2. Kondisi masyarakat pada saat karya sastra diciptakan<br />
<br />
adalah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya,politik pada saat karya sastra diciptakanPBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-49938774401325157942011-12-31T13:41:00.000-08:002011-12-31T13:41:01.117-08:00JENIS-JENIS MAJAS<div style="text-align: justify;">Home » Bahasa » Macam-macam Majas (Gaya Bahasa)<br />
Macam-macam Majas (Gaya Bahasa)<br />
<br />
<br />
1. Klimaks<br />
Adalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama semakin meningkat.<br />
Contoh : Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman harapan.<br />
<br />
2. Antiklimaks<br />
Adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lma semakin menurun.<br />
Contoh : Ketua pengadilan negeri itu adalah orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya<br />
<br />
3. Paralelisme<br />
Adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pengulangan kata pada baris atau kalimat. Contoh : Jika kamu minta, aku akan datang<br />
<br />
4. Antitesis<br />
Adalah gaya bahasa yang menggunakan pasangan kata yang berlawanan maknanya.<br />
Contoh : Kaya miskin, tua muda, besar kecil, smuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa.<br />
Reptisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai<br />
<br />
5. Epizeuksis<br />
Adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.<br />
Contoh : Kita harus bekerja, bekerja, dan bekerja untuk mengajar semua ketinggalan kita.<br />
<br />
6. Tautotes<br />
Ada;aj repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.<br />
Contoh : kau menunding aku, aku menunding kau, kau dan aku menjadi seteru<br />
<br />
7. Anafora<br />
Adalah repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap garis.<br />
Contoh : Apatah tak bersalin rupa, apatah boga sepanjang masa<br />
<br />
8. Epistrofora<br />
Adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir kalimat berurutan Contoh : Bumi yang kau diami, laut yang kaulayari adalah puisi, Udara yang kau hirupi, ari yang kau teguki adalah puisi<br />
<br />
9. Simploke<br />
Adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.<br />
Contoh : Kau bilang aku ini egois, aku bilang terserah aku. Kau bilang aku ini judes, aku bilang terserah aku.<br />
<br />
10. Mesodiplosis<br />
Adalah repetisi di tengah-tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan.<br />
Contoh : Para pembesar jangan mencuri bensin. Para gadis jangan mencari perawannya sendiri.<br />
<br />
11. Epanalepsis<br />
Adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama.<br />
Contoh : Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.<br />
<br />
12. Anadiplosis<br />
Adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa berikutnya.<br />
Contoh : Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati. Dalam hati : ah tak apa jua yang ada.<br />
<br />
13. Aliterasi<br />
Adalah gaya bahasa berupa perulangan bunyi vokal yang sama.<br />
Contoh : Keras-keras kena air lembut juga<br />
<br />
14. Asonansi<br />
Adalah gaya bahasa berupa perulangan bunyi vokal yang sama.<br />
Contoh : Ini luka penuh luka siapa yang punya<br />
<br />
15. Anastrof atau Inversi<br />
Adalah gaya bahasa yang dalam pengungkapannya predikat kalimat mendahului subejeknya karena lebih diutamakan.<br />
Contoh : Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat peranginya.<br />
<br />
16. Apofasis atau Preterisio<br />
Adalah gaya bahasa dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.<br />
Contoh : Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara<br />
<br />
17. Apostrof<br />
Adalah gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.<br />
Contoh : Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air bercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kau perjuangkan<br />
<br />
18. Asindeton<br />
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung agar perhatian pembaca beralih pada hal yang disebutkan.<br />
Contoh : Dan kesesakan kesedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.<br />
<br />
19. Polisindeton<br />
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung.<br />
Contoh : Kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang merontokkan bulu-bulunya?<br />
<br />
20. Kiasmus<br />
Adalah gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, yang bersifat berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa dan klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.<br />
Contoh : Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.<br />
<br />
21. Elipsis<br />
Adalah gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca.<br />
Contoh : Risalah derita yang menimpa ini.<br />
<br />
22. Eufimisme<br />
Adalah gaya bahasa penghalus untuk menjaga kesopanan atau menghindari timbulnya kesan yang tidak menyenangkan.<br />
Contoh : Anak ibu lamban menerima pelajaran<br />
<br />
23. Litotes<br />
Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri<br />
Contoh : Mampirlah ke gubukku!<br />
<br />
24. Histeron Proteron<br />
adalah gaya bahasa yang merupakan kebailikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.<br />
Contoh : Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasir putihnya<br />
<br />
25. Pleonasme<br />
Adalah gaya bahasa yang memberikan keterangan dengan kata-kata yang maknanya sudah tercakup dalam kata yang diterangkan atau mendahului.<br />
Contoh : Darah merah membasahi baju dan tubuhnya<br />
<br />
26. Tautologi<br />
Adalah gaya bahasa yang mengulang sebuah kata dalam kalimat atau mempergunakan kata-kata yang diterangkan atau mendahului.<br />
Contoh : Kejadian itu tidak saya inginkan dan tidak saya harapkan<br />
<br />
27. Parifrasis<br />
Adalah gaya bahasa yang menggantikan sebuah kata dengan frase atau serangkaian kata yang sama artinya.<br />
Contoh : Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu<br />
<br />
28. Prolepsis atau Antisipasi<br />
Adalah gaya bahasa dimana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.<br />
Contoh : Keua orang tua itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.<br />
<br />
29. Erotesis atau Pertanyaan Retoris<br />
Adalah pernyataan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.<br />
Contoh : inikah yang kau namai bekerja?<br />
<br />
30. Silepsis dan Zeugma<br />
Adalah gaya dimana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata yang lain sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan sebuah kata dengan dua kata yang lain sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.<br />
Contoh : ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.<br />
<br />
31. Koreksio atau Epanortosis<br />
Adalah gaya bahasa yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.<br />
Contoh : Silakan pulang saudara-saudara, eh maaf, silakan makan.<br />
<br />
32. Hiperbola<br />
Adalah gaya bahasa yang memberikan pernyataan yang berlebih-lebihan.<br />
Contoh : Kita berjuang sampai titik darah penghabisan<br />
<br />
33. Paradoks<br />
Adalah gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda.<br />
Contoh : Dia besar tetapi nyalinya kecil.<br />
<br />
34. Oksimoron<br />
adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama.<br />
Contoh : Keramah-tamahan yang bengis<br />
<br />
35. Asosiasi atau Simile<br />
Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskannya.<br />
Contoh : Pikirannya kusut bagai benang dilanda ayam<br />
<br />
36. Metafora<br />
Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama.<br />
Contoh : Jantung hatinya hilang tiada berita<br />
<br />
37. Alegori<br />
adalah gaya bahasa yang membandingkan kehidupan manusia dengan alam.<br />
Contoh : Iman adalah kemudi dalam mengarungi zaman.<br />
<br />
38. Parabel<br />
Adalah gaya bahasa parabel yang terkandung dalam seluruh karangan dengan secara halus tersimpul dalam karangan itu pedoman hidup, falsafah hidup yang harus ditimba di dalamnya.<br />
Contoh : Cerita Ramayana melukiskan maksud bahwa yang benar tetap benar<br />
<br />
39. Personifikasi<br />
Adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.<br />
Contoh : Hujan itu menari-nari di atas genting<br />
<br />
40. Alusi<br />
Adalah gaya bahasa yang menghubungkan sesuatu dengan orang, tempat atau peristiwa.<br />
Contoh : Pkartini kecil itu turut memperjuangkan haknya<br />
<br />
41. Eponim<br />
Adalah gaya dimana seseorang namanya begitu sering dihubungakan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan suatu sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.<br />
Contoh : Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan.<br />
<br />
42. Epitet<br />
Adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.<br />
Contoh : Lonceng pagi untuk ayam jantan.<br />
<br />
43. Sinekdoke<br />
- Pars Pro Tato<br />
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagianhal untuk menyatakan keseluruhan. Contoh : Saya belum melihat batang hidungnya<br />
- Totem Pro Parte<br />
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan seluruh hal untuk menyatakan sebagian. Contoh : Thailand memboyong piala kemerdekaan setelah menggulung PSSi Harimau<br />
<br />
44. Metonimia<br />
Adalah gaya bahasa yang menggunakan nama ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri. Contoh : Ia menggunakan Jupiter jika pergi ke sekolah<br />
<br />
45. Antonomasia<br />
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sifat atau ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri. Contoh : Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.<br />
<br />
46. Hipalase<br />
Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh : ia masih menuntut almarhum maskawin dari Kiki puterinya (maksudnya menuntut maskawin dari almarhum)<br />
<br />
47. Ironi<br />
Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh : Manis sekali kopi ini, gula mahal ya?<br />
<br />
48. Sinisme<br />
adalah gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari ironi atau sindiran tajam<br />
Contoh : Harum bener baumu pagi ini<br />
<br />
49. Sarkasme<br />
Adalah gaya bahasa yang paling kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.<br />
Contoh : Mampuspun aku tak peduli, diberi nasihat aku tak peduli, diberi nasihat masuk ketelinga<br />
<br />
50. Satire<br />
Adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.<br />
Contoh : Ya, Ampun! Soal mudah kayak gini, kau tak bisa mengerjakannya!<br />
<br />
1. Inuendo<br />
Adalah gaya bahasa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.<br />
Contoh : Ia menjadi kaya raya karena mengadakan kemoersialisasi jabatannya<br />
<br />
52. Antifrasis<br />
Adalah gaya bahsa ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna sebaliknya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.<br />
Contoh : Engkau memang orang yang mulia dan terhormat<br />
<br />
53. Pun atau Paronomasia<br />
Adalah kiasan dengan menggunakan kemiripan bunyi.<br />
Contoh : Tanggal satu gigi saya tinggal satu<br />
54. Simbolik<br />
Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang.<br />
Contoh : Keduanya hanya cinta monyet.<br />
<br />
55. Tropen<br />
Adalah gaya bahasa yang menggunakan kiasan dengan kata atau istilah lain terhadap pekerjaan yang dilakukan seseorang.<br />
Contoh : Untuk menghilangkan keruwetan pikirannya, ia menyelam diri di antara botol minuman.<br />
<br />
56. Alusio<br />
Adalah gaya bahasa yang menggunakan pribahasa atau ungkapan.<br />
Contoh : Apakah peristiwa Turang Jaya itu akan terulang lagi?<br />
<br />
57. Interupsi<br />
adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan di dalam kalimat pokok untuk lebih menjelaskan sesuatu dalam kalimat.<br />
Contoh : Tiba-tiba ia-suami itu disebut oleh perempuan lain.<br />
<br />
58. Eksklmasio<br />
Adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata seru atau tiruan bunyi.<br />
Contoh : Wah, biar ku peluk, dengan tangan menggigil.<br />
<br />
59. Enumerasio<br />
Adalah beberapa peristiwa yang membentuk satu kesatuan, dilukiskan satu persatu agar tiap peristiwa dalam keseluruhannya tanpak dengan jelas.<br />
Contoh : Laut tenang. Di atas permadani biru itu tanpak satu-satunya perahu nelayan meluncur perlahan-lahan. Angin berhempus sepoi-sepoi. Bulan bersinar dengan terangnya. Disana-sini bintang-bintang gemerlapan. Semuanya berpadu membentuk suatu lukisan yang haromonis. Itulah keindahan sejati.<br />
<br />
60. Kontradiksio Interminis<br />
Adalah gaya bahasa yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah dikemukakan sebelumnya.<br />
Contoh : semuanya telah diundang, kecuali Sinta.<br />
<br />
61. Anakronisme<br />
Adalah gaya bahasa yang menunjukkan adanya ketidak sesuaian uraian dalam karya sastra dalam sejarah, sedangkan sesuatu yang disebutkan belum ada saat itu.<br />
Contoh : dalam tulisan Cesar, Shakespeare menuliskan jam berbunyi tiga kali (saat itu jam belum ada)<br />
<br />
62. Okupasi<br />
Adalah gaya bahasa yang menyatakan bantahan atau keberatan terhadap sesuatu yang oleh orang banyak dianggap benar.<br />
Contoh : Minuman keras dapat merusak dapat merusak jaringan sistem syaraf, tetapi banyak anak yang mengkonsumsinya.<br />
<br />
63. Resentia<br />
Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu yang tidak mengatakan tegas pada bagian tertentu dari kalimat yang dihilangkan.<br />
Contoh : “Apakah ibu mau….?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Diposkan oleh Gunandar Azikin on Sabtu, 24 Desember 2011<br />
Berikut Macam-macam Majas atau Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia : </div>PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8545447467805607501.post-12816552393931867472011-12-31T13:36:00.000-08:002011-12-31T13:36:43.254-08:00PERIODI SASTRA INDONESIA<h3 class="post-title entry-title"><br />
</h3><div class="post-header"> </div>Masalah Angkatan dan Periodisasi Sastra<br />
Periodisasi sastra Indonesia erat kaitannya dengan latar belakang zaman yang menyebabkan periodisasi itu penting. Beberapa peristiwa sejarah telah menghiasi lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa sejarah yang pertama ialah lahirnya gerakan kebangsaan seperti Budi Utomo, Serikat Dagang Islam, Taman Siswa, Muhammadiyah dll. Semua organisasi itu lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan.<br />
<br />
<br />
Dengan bekal dan pengalamannya terhadap bangsa serta kebudayaan lain yang lebih maju, mereka menjadi sadar betapa terbelakangnya masyarakat dan bangsanya. Dengan kesadaran itu mereka berupaya untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa. Salah satu sikap budaya yang mereka anggap sebagai penghambat kemajuan adalah feodalisme.<br />
<br />
Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Ajib Rosidi membagi periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut:<br />
1. Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (1900-1945) yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, (1) periode awal hingga 1933; (2) periode 1933-1942; dan (3) periode 1942-1945.<br />
2. Masalah perkembangan (1945 sampai sekarang) yang lebih lanjut dapat pula dibagi menjadi (1) periode 1945-1953; (2) periode 1953-1961; (3) periode 1961-sampai sekarang.<br />
<br />
Dra. B Simorangkir Simanjuntak dalam buku Kesusastraan jilid I membagi kesusastraan menurut zamannya sebagai berikut:<br />
1. Kesusastraan Masa Lama atau Purba (sebalum masuk pengaruh dari India), kesusastraan ini meliputi cerita tentang doa, mantra, silsilah, adat kebiasaan, dan kepercayaan.<br />
2. Kesusastraan Masa Hindu/Arab<br />
Kesusastraan ini mulai datangnya pengaruh Hindu, dan kedatangan agama Islam, sampai kedatangan orang asing lain meliputi; cerita mengenai asal usul manusia, alam agama, silsilah raja dan keluarga, cerita yang bersifat didaksi, dan cerita pelipur lara.<br />
3. Kesusastraan Baru<br />
Kesusastraan baru terbagi atas tiga bagian;<br />
a) Masa Adbullah din Abdul Kadir Munsyi<br />
b) Masa Balai Pustaka<br />
c) Masa Pujangga Baru<br />
4. Kesusastraan Masa Mutakhir<br />
Dari tahun 1942 hingga sekarang<br />
a) Kesusastraan Lama (…-1920)<br />
b) Kesusastraan Baru (1920-1945)<br />
c) Kesusastraan Modern (1945-…)<br />
<br />
Menurut Sabaruddin Ahmad periode sastra dapat digolongkan sebagai berikut;<br />
1. Kesusastraan Lama<br />
a) Dinamisme<br />
b) Hinduisme<br />
c) Islamisme<br />
2. Kesusastraan Baru<br />
a) Masa Abdullah din Abdul Kadir Munsyi<br />
b) Masa Balai Pustaka<br />
c) Masa Pujangga Baru<br />
d) Masa Angkatan ‘45<br />
<br />
Sedangkan Zuber Usman membagi periode sastra Indonesia sebagai berikut;<br />
1. Kesusastraan Lama<br />
2. Kesusastraan Zaman Peralihan<br />
3. Kesusastraan Baru, yang meliputi;<br />
a) Zaman Balai Pustaka (1908)<br />
b) Zaman Pujangga Baru (1933)<br />
c) Zaman Jepang (1942)<br />
<br />
Kalau kita perhatikan pendapat dari para ahli di atas, kita akan menemukan adanya perbedaan sudut pandang, ada yang menyatakan sastra Melayu termasuk sastra Indonesia, sedangkan pihak lain menyatakan bahwa sastra Melayu tidak termasuk sastra Indonesia.<br />
<br />
Jadi sastra Indonesia adalah sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian suatu karya sastra yang tidak menggunaka bahasa Indonesia, bukan sastra Indonesia. Oleh karena karya sastra sebelum masa Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia, maka kesusastraan itu tidak bisa dianggap sebagai sastra Indonesia. Kesusastraan Indonesia baru dimulai pada zaman Balai Pustaka. Dengan demikian, pembagian kesusastraan menurut zamannya sebagai berikut;<br />
<br />
1. Masa Balai Pustaka<br />
a) Pada tanggal 14 september 1908, dengan ketetapan gubernumen No. 12, didirikanlah sebuah badan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat) di bawah pimpinan G.A.J. Hazeu<br />
b) Pada tahun 1922 nama diganti menjadi Balai Pustaka, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Kemudian berturut-turut Balai Pustaka dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.H.A. Hidding.<br />
2. Masa Pujangga Baru<br />
Pujangga baru pada mulanya hanyalah nama sebuah majalah bahasa dan sastra yang mulai diterbitkan juli 1933. Kemudian nama ini dipakai untuk menamai segolongan pujangga muda mengambil inisiatif penerbit majalah itu, serta pujangga-pujangga yang terus-menerus memelihara tubuhnya dengan sumbangan karangan-karangan mereka, baik puisi maupun prosa.<br />
3. Masa Angkatan ‘45<br />
Angkatan ’45 lahir ditengah dentuman meriam dan bom yang hebat dan dahsyat. Pada masa itu ada pemerintahan penduduk jepang yang sedang berkuasa ditanah air Indonesia. Nama angkatan ’45 sebenarnya dipakai sebagai lambing kemerdekaan dalam kesusastraan sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta tanggal 17 Agustus 1945.<br />
4. Masa Sesudah Angkatan ‘45<br />
Sesudah angkatan ’45 ada beberapa angkatan, tetapi hal itu tidak popular. HB Jassin dalam bukunya “Angkatan ‘66” mengemukakan angkatan ’66. Namun tidak semua pihak menerima kehadiran angkatan itu. WS Rendra di Yogyakarta mengemukakan angkatan ’50. Namun nama itu tidak popular. Kedua angkatan inilah yang kita sebut angkatan sesudah angkatan ’45.PBSI FKIP UNSUR CIANJURhttp://www.blogger.com/profile/02154829366684971041noreply@blogger.com0