KERITIK SASTRA


LAH KRITIK SASTRA
Arti dan Sejarah Kritik Sastra
A. PENDAHULUAN
Lahirnya kritik sastra telah melengkapi bidang studi sastra atau wilayah ilmu sastra menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Sering orang mencampuradukkan ketiga bidang studi ini padahal ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda walaupun saling berhubungan, saling menunjang, dan saling mengisi.
Teori sastra menelaah bidang yang membicarakan pengertian sastra, hakikat sastra, penelitian sastra, jenis dan gaya penulisan, dan teori penikmatan sastra. Sedangkan sejarah sastra menyangkut studi yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra yang menyangkut masalah periodisasi dan perkembangan sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya, yang membahas bernilai tidaknya sebuah karya sastra.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan kritik sastra dan apa peranannya terhadap hasil karya sastra, pelajarilah uraian berikut dengan sungguh-sungguh.

B. ARTI DAN SEJARAH KRITIK SASTRA
Istilah kritik sastra yang pada zaman modern ini sangat populer, sebenarnya telah memiliki sejarah yang amat panjang. Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya.
Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi. Kemudian muncullah kata kritikos yang diartikan sebagai hakim kesusastraan. Pengertian ini berlaku pada abad ke-4.
Di dalam pustaka sastra Latin klasik, istilah criticus jarang sekali dipakai. Dalam pemakaian yang sangat jarang itu, criticus dipandang lebih tinggi daripada grammaticus. Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam pembinaan istilah kritikos atau criticus sebagaimana lazimnya sekarang dipergunakan orang dalam bahasa Inggris literary criticism adalah tokoh-tokoh pemuka kaum retorika seperti Quntilianus dan filosof Aristoteles.
Dalam abad pertengahan, istilah kritik tenggelam. Pemakaiaannya cuma terbatas pada lingkungan kedokteran dalam arti krisis dan dalam penggunaan penyakit kritis (critical illness). Tetapi dalam zaman Renaissance istilah kritik muncul kembali dalam arti semulanya. Polizianus pada tahun 1492 mempergunakan istilah criticus sebagai antitese daripada filosof, begitu juga istilah grammaticus.
Dengan demikian timbullah pengacauan penggunaan istilah kritikus dengan grammatikus dan filologis terutama di kalangan orang-orang yang menggarap harta karun pustaka sastra lama. Di kalangan kaum humanis selanjutnya kata kritik dan kritikus pemakaiaannya terbatas pada penerbitan dan pembetulan naskah-naskah kuno. Tujuan kaum kritikus adalah mencabuti cacat cela guna perbaikan naskah-naskah karya para pujangga kuno, baik Yunani ataupun Latin. Jadi jelaslah di sini bahwa kritikus ditempatkan di bawah gramatikus.
Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap, yang kemudian dipandang sebagai sumber dari pengertian kritik modern berjudul Criticus ditulis oleh Julius Caesar Sealinger (1484-1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam jilid ke enam ini, ia mengadakan penyelidikan dan perbandingan, yang sudah barang tentu terlalu memakan tenaga dan minat, antara para pengarang Yunani dan Romawi Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan dan bahkan pemeriksaan terhadap Homerus dan Vergilius dalam kelas yang sama. Kemudian karena usahanya ini, Sealiger mendapat julukan le grand critique, kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis.
Kemudian istilah kritik ini diterima di kalangan luas dalam artian yang luas pula pada abad ke-16 dan ke-17. Pengarang terkenal Moliere misalnya, menulis sebuah buku berjudul Critique de L’ecole des Femmes (1663). Kritik sastra jelas selalu dihubungkan dengan sastra kuno dan diidentifikasikan dengan seluruh masalah tentang teori pengetahuan dan penangkapan.
Di Inggris, kata kritik dengan sendirinya mempunyai perkembangan dan sejarah sendiri. Pada zaman Elizabetan, kata critic tidak pernah kedengaran ataupun ditulis orang. Buku pertama yang membicarakan tentang masalah ini adalah Advancement of Learning karangan Francis Beacon (1605). Buku ini memperbincangkan tradisi-tradisi ilmu pengetahuan dalam kategori-kategori sebagai berikut:
1. Critical, yang memberikan ciri-ciri:
a. Berpautan dengan perbaikan dan penerbitan yang benar dari karya para pujangga;
b. Berpautan dengan eksposisi (pembeberan) dan eksplikasi (pengudaraan);
c. Berpautan dengan zaman yang banyak kali memberikan petunjuk yang jelas buat mengadakan penafsiran yang tepat;
d. Berpautan dengan sekilas pemeriksaan atau sensor penghakiman terhadap karya-karya para pujangga; dan
e. Berpautan dengan sintaksis yang berarti tata kalimat serta disposisi atau hikmah keilmuannya.
2. Pedantical
Dalam garis besarnya, perkembangan istilah di Inggris sejajar dengan di Perancis. Tetapi harus diingat bahwa pemakaiaan istilah itu tidak semudah di Perancis. Kata benda critism yang belakangan ini sangat biasa dipakai sebenarnya merupakan usaha untuk menghindari adanya homonimi yang terdapat pada kata critic, sebab pada mulanya kata ini di samping mempunyai arti tindakannya juga orang yang melakukan tindakan itu. Usaha lain untuk menghindari homonim itu terdapat juga dalam pemakaian critique yang merupakan pinjaman dari Perancis.
Pengarang pertama di dalam sastra Inggris yang mempergunakan istilah criticism dalam arti yang dipegang teguh sampai sekarang adalah John Dryden yang menuliskan: criticism yang telah diletakkan oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai penghakiman yang benar. Masih ada seorang tokoh lain lagi yang telah menulis sajak panjang berjudul Essay on Criticism, yakni Alexander Pope.
Dengan demikian jelaslah bahwa istilah criticism meluas benar pemakaiaannya., mendesak kata critick. Ini berarti juga telah lenyapnya suatu homonim.
Kalau di dalam sastra Jerman ditemukan juga istilah kritik dan kritisch itu merupakan pengaruh yang merembes dari Perancis. Untuk artian yang dikandung oleh kritik di dalam sastra Inggris atau Perancis, sastra Jerman memiliki istilah Literaturwissenshaft. Istilah ini pernah juga diusahakan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris ataupun Perancis menjadi the science of literature, tetapi tidak begitu mendapat sambutan sebab di dalam kedua bahasa itu istilah science memang mempunyai arti yang lebih khusus dan sempit yakni tertuju pada pengetahuan eksakta.
Demikianlah sekedar penjelajahan yang telah dilakukan sepintas kilas saja untuk mernyingkap asal istilah kritik sastra dan pemakaiannya di dalam sejarah pustaka sastra sejauh ini.
Bahasa Indonesia tidak melihat adanya persoalan berkenaan istilah kritik. Istilah ini diterima di kalangan luas dengan cukup memberikan implikasi ke arah pemgertian yang sebenarnya, meskipun harus diakui bahwa sementara orang ada juga yang melakukan usaha untuk memperkenalkan istilah lain seperti ulasan, teropong, sorotan, dan wawasan. Tokoh-tokoh di Indonesia yang telah memperjuangkan pengenalan istilah kritik ini antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, dan belakangan ini disusul oleh Boen S. Oemarjati dan Goenawan Mohamad.
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pemgkajian, telaah, bahasan, atau ulasan. Sungguhpun demikian, bukan tidak terjadi sebelumnya penilaian atau penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya di dalam sejarah kehidupan kesastraan di nusantara ini.
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pengkajian, telaah, bahasan, atau ulasan.
Mengenai kritik sastra itu sendiri, beberapa batasan kita jumpai. H.B. Jassin mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra.
Menurut Gayley dan Scott (1970), kritik sastra adalah:
1. Mencari kesalahan (fault finding)
2. Memuji (to praise)
3. Menilai (to judge)
4. Membanding (to compare)
5. Menikmati (to appreciate)
Menurut Duroche (1967) denagn mengutip pendapat Stanley Edgar Huyman, menarik kesimpulan tentang kritik sastra:
1. Kritik sastra adalah penilaian (evaluation).
2. Kritik sastra adalah interpretasi, sebab belum adanya ukuran yang baku dan ukuran itu sendiri tidak dapat disusun.
3. Kritik sastra itu adalah penialain dan interpretasi.
Dari beberapa penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk member pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik.
Suatu kritik sastra dapat dilakukan dengan oendekatan atau dengan metode yang berlainan. Oelh sebab itu kritik sastra dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:
1. Kritik sastra penilaian (judicial criticism), yaitu kritik sastra yang sifatnya member penilaian terhadap pengarang dan karyanya.
2. Kritik sastra induktif (inductive criticism), yaitu kritik sastra yang tidak mau mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.


Kritik sastra juga dibagi berdasarkan tipe sejarah sastra dan kritik sastra, yaitu sebagai berikut:
1. Impresionistik
2. Kesejarahan
3. Textual
4. Formal
5. Yudisial
6. Analitik
7. Moral
8. Mitik
Bila dilihat dari hakikat suatu karya sastra yang merupakan suatu keutuhan, suatu kebutuhan yang berdiri sendiri, maka kritik sastra dapat pula dibagi atas tiga aspek. Ketiga aspek kritik itu disejajarkan dengan ketiga aspek sastra sebagai suatu bentuk karya seni. Aspek-aspek itu adalah pertama, sastra itu merupakan suatu fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil karya dan seorang seniman yang datang dari suatu lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang tidak lepas dari rangkaian sejarah. Kedua, suatu karya sastra pastilah merupakan pengejawantahan karya yang menandai karya-karya sastra lain, termasuk didalamnya aliran, permasalahan, dan kebudayaan yang sama atau hampir sama dengan karya sastra tersebut. Ketiga, karya sastra sebagaimana juga dengan karya sastra yang lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya seni, begitu juga dengan kebenaran yang diungkapkan dan kepentingannya pada kehidupan masyarakat. Tegasnya, suatu karya sastra mempunyai tingkatan sendiri dalam hal kesempurnaan dan mempunyai pandangan sendiri tentang nilai-nilai.
Bertolak dari pendirian itu, maka seorang kritikus yang jelilah yang dapat mengamati aspek-aspek perbedaab dan kesamaan suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Ketepatan pengamatan seorang kritikus tentulah didasarkan pada keluasaan pengalaman, pengetahuan, pendidikan, dan minatnya yang besar. Dengan itu pula seorang kritikus dapat menghasilkan suatu pandangan serta getaran hati yang lebih halus dibandingkan dengan pembaca biasa. Oleh sebab itu kritik sastra pun menghendaki ketiga aspek seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta.
Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer. Dan kecenderungan inilah yang memberikan kesempatan pada kritik itu, yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada pembinaan,peningkatan kejiwaan bangsa, dan kepada pengangkatan kejiwaan umat manusia. Kritik berdedikasi kepada modernisasi. Dengan kritik dapat diharapkan agar dihindarkan alienasi yang sering terjadi antara sastrawan, pencipta, dan masyarakat. Kritik hendaknya menjembatani jurang itu, sehingga kesusastraan menjadi bagian yang integral dengan kehidupan budaya manusia. Jadi kesusastraan mempunyai fungsi dalam masyarakat. Bagaimana fungsi ini, bergantung pada pelaksanaan fungsi itu.
Hubungan komunikasi antara karya sastra dengan kritikus disebut komunikasi kritika. Komunikasi ini bisa positif dan bisa negatif, penilaian ini harus ada alasannya yang harus ditarik dalam karya sastra itu. Subjektivitas penilaian dapat diimbangi dan diperkecil dengan menarik semua alasan dari eksistensi karya sastra itu sendiri. Kritik pada umumnya bersifat eksplisit yang bertugas membongkar semuanya untuk menjelaskan semuanya. Dalam kritik sastra yang baik senantiasa tersimpan pendirian kritikus tentang hakikat dan fungsi kesusastraan itu sendiri. Disini nyata pertalian antara kritik dan estetika.
Dalam melaksanankan kritik sastra ini membutuhkan bantuan ilmu-ilmu kerabat tertentu, antara lain:
1. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan idealisasi.
2. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan aktualisasi.
Akan tetapi kritik sastra itu sendiri tidak boleh tergelincir menjadi ilmu kerabat itu sendiri.


C. PENUTUP
Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya. Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi.
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta. Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer.

Daftar Pustaka
Wahid, Sugira. 2009. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar